Si Penyampai Absurditas

IMG-20170517-WA0003

Barangkali yang membikin nihilnya perasaan diterima itu bukan karena ketiadaannya, namun karena tidak ada yang menyampaikannya.

Sebenarnya saya sering ragu dengan terjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Indonesia. Membeli buku-buku terjemahan ibarat memilih kucing dalam karung. Barangkali kita memang telah mendengar keistimewaan buku itu. Sayangnya, saat diterjemahkan ke dalam bahasa lain, semacam ada yang tidak pas. Barangkali ada banyak kata-kata yang hanya cocok bila dituliskan dalam bahasa tertentu. Dan bila dituliskan ke dalam bahasa lainnya, kesannya justru jadi seperti dipaksakan. Namun syukurlah, karena Jonjon Johana adalah pengecualian. Setidaknya untuk satu buku yang baru saja saya baca.

Subuh ini saya menamatkan Dengarlah Nyanyian Angin milik Haruki Murakami yang diterjemahkan oleh Jonjon Johana. Ini adalah tulisan pertama Murakami yang saya baca sampai selesai. Ada banyak yang menyarankan untuk membaca Norwegian Wood atau Kafka on the Shore terlebih dahulu. Entah karena apa. Barangkali karena yang saya dengar, Norwegian Wood menjadi semacam maskot bagi karya-karya realis Murakami dan Kafka on the Shore sebagai simbol bagi tulisan-tulisan surealisnya. Tapi ini cuma firasat saya. Karena toh saya tidak pernah menanyakan apa sebabnya dan saya memang belum membaca keduanya.

Sebenarnya kira-kira 1,5 tahun lalu saya pernah mencoba membaca novel ini. Tapi tak pernah lebih dari halaman 20. Saya bilang saya enek dengan tuturan Murakami. Bukannya saya tak suka tulisan-tulisan muram. Sebagian besar tulisan yang saya baca pun cenderung gelap dan muram. Namun saya tak paham dengan kemuraman Murakami. Waktu itu kemuramannya semacam menjadi kemuraman yang dibuat-buat.

Sebagai pembanding –entah masuk akal atau tidak- pada dasarnya saya cukup menyukai tulisan-tulisan Yasunari Kawabata. Ada sejumlah novel dan cerpen miliknya yang sudah saya baca. Beberapa bahkan saya baca ulang. Tulisan-tulisan Kawabata juga cenderung muram dan lirih. Tapi saya menyukai kemuramannya sejak awal karena saya paham apa yang membikinnya muram. Kawabata adalah bagian dari generasi yang menanggung malu akibat kekalahan dan keporak-porandaan Jepang di era Perang Dunia. Ada kesedihan turun-temurun yang disampaikan lewat tulisan lirih yang menjadi ciri khasnya.

Seorang penulis pernah berbicara perihal pembacaan Dengarlah Nyanyian Angin saya yang tidak selesai. Dia bilang, saya tidak bisa menyelesaikan pembacaan novel ini karena sebenarnya saya pun enek dengan hidup saya sendiri. Katanya, novel itu menceritakan kehidupan manusia urban. Makan. Bekerja. Minum bir. Bercinta. Tidur. Makan. Bekerja. Minum bir. Bercinta. Tidur. Begitu berulang kali. Bukan kehidupan yang kosong, tapi kehidupan yang diisi dengan hal-hal yang sebenarnya tidak diinginkan. Dan katanya; “Menurutku kamu pun seperti itu, Mar.” Sial!

Kalau ditanya menyoal pernyataan itu, saya sendiri tidak tahu bagaimana cara membantah dan menerimanya. Namun yang pasti, satu-dua bulan belakangan, ada semacam perasaan ganjil yang tak mengenakkan. Terlalu mengganggu, sehingga mau tak mau harus dihabisi. Dan salah satu hal yang saya lakukan adalah membaca dengan serius. Menambah jam baca dan melakukannya dengan sangat serius. Dan pada akhirnya, sampailah saya pada keinginan untuk menyelesaikan novel ini.

Murakami membuka novel pertamanya ini dengan kaki dashi; “Tidak ada kalimat yang sempurna. Sama seperti tidak ada keputusasaan yang sempurna.”

Buat para penulis, kaki dashi bukan kalimat yang semata-mata diletakkan di awal tulisan. Kalimat pertama ibarat gerbang yang membawa pembaca kepada dunia yang diciptakan si penulis. Walaupun tidak bisa digeneralisasikan, namun kalimat pertama yang menarik akan membawa pembaca kepada kalimat-kalimat selanjutnya.

Kaki dashi ini tidak hanya menjadi kalimat pertama bagi novel Dengarlah Nyanyian Angin, tetapi menjadi kalimat pertama bagi seluruh novel Murakami. Bayangkan sebesar apa pertaruhan yang dibuat Murakami. Dan satu hal yang paling saya sukai, Jonjon paham tentang pertaruhan ini. Ia tidak hanya berfungsi sebagai penerjemah, tapi penyampai pesan. Yang ia sampaikan adalah pengakuan si “aku” yang menjadi tokoh utama novel ini.

Bentuk novel ini terlihat seperti catatan harian, dimulai dari 8 Agustus 1970 dan diakhiri 26 Agustus 1970. Ia bercerita tentang “aku”, seorang pemuda yang biasa-biasa saja. Sebagai mahasiswa jurusan Biologi, “aku” mengaku kalau ia menyukai binatang karena mereka tidak tertawa. Ia pun memiliki perasaan cinta dan benci sekaligus terhadap dunia tulis-menulis. Katanya; “Bagiku menulis kalimat adalah pekerjaan yang menyakitkan.”

Dan bukankah proses penulisan memang sering terasa demikian? Coba ingat-ingat lagi berapa jam yang dibutuhkan untuk menulis satu esai. Ada berapa banyak kalimat yang dihapus untuk menulis kaki dashi? Ada berapa banyak rokok yang dihisap setiap mengerjakan tulisan? Ada berapa umpatan yang keluar setiap kali gagal menuliskan kalimat? Dan ada berapa kekecewaan yang harus ditelan saat tulisan yang sudah selesai ternyata tak sesuai harapan? Borok macam apa yang harus dikorek lagi demi sebuah tulisan? Kegelisahan-kegelisahan seperti apa yang harus dikembangbiakkan untuk mendorong munculnya sebuah tulisan?

Saya teringat dengan apa yang disampaikan Martinus Brouwer dan Myra Sidharta dalam buku yang membahas Virginia Woolf: Kegelisahan Seorang Feminis. Di dalam buku itu dijelaskan bahwa proses penulisan buat Virginia ibarat proses melahirkan. Ada rasa sakit yang teramat sangat. Makanya tak heran, setiap kali selesai menyelesaikan buku, kejiwaan Virginia selalu terganggu.

Secara garis besar, tak ada kejadian-kejadian aneh dalam novel ini. Cenderung datar tanpa emosi. Begitu pula dengan kalimat-kalimat yang digunakan Murakami saat menghadirkan nostalgia. Dalam novel ini akan ada beberapa cerita nostalgia yang dibiarkan hadir begitu saja. Mulai dari perkenalan “aku” dengan sahabatnya yang bernama Nezumi, masa kecil “aku” dalam perawatan seorang psikiater ataupun pengalaman bersama perempuan-perempuan masa lalu “aku”. Nostalgia-nostalgia itu muncul dan hilang secara tiba-tiba, tanpa runut dan penanda yang jelas. Saya tidak tahu dengan pasti, tapi barangkali hal semacam ini juga muncul dalam novel-novel Murakami yang lain. Agaknya menjadi semacam ciri khas.

Namun yang paling saya sukai adalah bagaimana Murakami melahirkan absurditas-absurditas lewat datarnya bangunan emosi.

Absurditas yang paling mencolok buat saya ada keberadaan Derek Heartfield. Ia adalah penulis fiksi kebangsaan Amerika yang digilai “aku”. Ia adalah obsesi “aku”. Derek mati bunuh diri. Ia melompat dari Empire State Building sambil memeluk foto Hitler di tangan kanan dan memegang payung terbuka di tangan kiri beberapa saat setelah ibunya meninggal. Di nisannya ditulis kalimat Nietzsche; “Bagaimana bisa cahaya siang memahami kelamnya kegelapan malam.”

Ada banyak referensi pengarang dan musisi di novel ini. Dan saya pikir, Derek Heartfield benar-benar nyata, Jujur saja, saya sampai mencarinya dengan Google. Namun ternyata Derek hanyalah tokoh rekaan. Ia tak nyata. Barangkali bagaimana Murakami bercerita tentang Derek yang membuat saya sempat berpikir demikian. Atau kalau mau jujur, sebenarnya sayalah yang menginginkan hal-hal absurd bisa menjadi kenyataan.

Selain itu, absurditas juga muncul dari tulisan-tulisan yang ditulis Derek dan Nezumi. Sebagai catatan, Nezumi memang tak suka membaca buku, namun akhirnya ia memutuskan untuk menulis novel-novel aneh. Kalau kata “aku”, Nezumi menulis novel-novel yang tidak membicarakan cinta dan seks. Sebagai penulis fiksi, Derek cenderung menulis petualangan-petualangan aneh. Tentang pembunuh yang meninggal 3 kali dan meniduri ratusan perempuan, termasuk perempuan Mars. Jadi semacam absurditas yang lahir dari absurditas yang sudah ada. Absurditas yang beranak cucu.

Hal lain yang dibiarkan Murakami hidup dalam novel ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab. Tentang seorang perempuan yang pernah meminjamkan “aku” piringan hitam LP Beach Boys. Tentang siapa ayah dari anak yang sempat dikandung pacarnya “aku”. Tentang keputusasaan yang tidak sempurna itu. Tentang mengapa harus ada fragmen penyiar radio. Tentang remaja 17 tahun yang dirawat di rumah sakit akibat penyakit saraf tulang belakang. Atau apa yang membuat Derek mati bunuh diri dengan foto Hitler dan payung terbuka? Mengapa Empire State Building? Mengapa Nezumi membenci kekayaan? Mengapa menyemir sepatu harus setiap pukul 20:00? Hal-hal semacam itu. Hal-hal yang muncul dan dibiarkan menjadi pertanyaan tanpa jawaban.

Segala keganjilan yang dibiarkan hidup dalam novel ini pada akhirnya melahirkan penerimaan yang juga ganjil tapi menyenangkan. Penerimaan atas absurditas-absurditas personal yang selama ini mengendap namun tidak pernah saya ceritakan kepada orang lain karena keberadaannya sendiri buat saya sudah terlalu aneh.

Saya ingat salah satu kicauan Murakami di akun sosial media miliknya. Katanya setiap perkataan memiliki konsekuensi. Begitu pula dengan diam. Saya pikir saya juga sedang menelan konsekuensi dari ketidakmauan saya untuk membicarakan hal-hal tidak masuk akal yang sebenarnya selalu ada itu. Lantas, sewaktu mengetahui ada seseorang yang juga berpihak pada keberadaan absurditas dengan membiarkan hal-hal absurd menjadi absurd, dengan merawat pertanyaan sehingga ia tetap hidup sebagai pertanyaan ataupun dengan tidak menulis novel yang isinya diketahui semua orang –rasanya ada semacam perasaan diterima di tengah-tengah konsekuensi tadi.

Perasaan diterima selalu terasa menyenangkan. Dan atas segala perasaan menyenangkan ini, saya pikir, saya memang berutang pada Murakami. Namun utang terbesar saya ada pada Jonjon Johana, karena lewat terjemahannyalah, perasaan diterima itu bisa sampai kepada saya.

Tulisan ini juga ada di Kumparan.

 

Raharja

r

Raharja sedang melukis. Ia bermain-main dengan warna dan tak peduli pada sekitar.

Hari itu sudah hampir malam, namun jalanan Braga masih sibuk dengan orang-orang yang sibuk. Mereka berjalan-jalan tanpa tujuan pasti, celingak-celinguk kiri kanan entah mencari apa. Tak tahu ada berapa banyak orang yang berhenti sejenak di tiang-tiang lampu dan pintu-pintu kafe yang mereka anggap menarik. Satu demi satu mereka berganti gaya. Kadang menatap kamera, kadang tak menghadap kamera walau semua orang tahu kalau mereka sadar penuh akan keberadaan kamera. Aku tersenyum geli. Tapi itulah mereka, tapi itulah kita.

Raharja yang kutemui waktu itu adalah seorang pelukis jalanan. Kalau dikira-kira, usianya 50 tahunan. Dandanannya eksentrik, khas seniman. Ia dan lukisan-lukisannya duduk di depan toko masakan Jepang. Waktu itu jarinya menjepit sebatang rokok. Sepengetahuanku rokok yang seperti itu pasti bermerk Dji Sam Soe. Bapak dulu menyulut rokok yang sama. Dan aku suka melihat bapak merokok. Lalu aku rindu bau rokok yang kerap jadi kesukaan bapak.

Raharja duduk di sana, ada seorang juru parkir yang juga duduk-duduk di dekatnya. Ia menggambar garis-garis penting dan tak penting. Satu per satu garis-garis yang penting itu dibiarkannya tinggal di sana. Sementara yang lain, yang tak penting barangkali, dihapusnya tanpa sisa. Ia menghapusnya dengan bersegera, sampai pada akhirnya yang tertinggal di kanvas adalah yang penting-penting saja.

Kutanya Raharja soal garis-garis tak penting tadi. Mengapa ia repot-repot menggambarnya kalau toh pada akhirnya harus dihapus juga. Dia berhenti sejenak. Terkekeh tanpa lelucon. Barangkali ia mengejek. Barangkali ia tak percaya bagaimana pertanyaan semacam itu bisa keluar dari mulutku. Tapi tak masalah, karena aku juga tak merasa diejek. Dan bukankah terkadang ada hal-hal baik yang lahir dari ketidakpercayaan?

Pertanyaanku tak dijawabnya. Ia tetap sibuk dengan lukisan-lukisannya. Dasar seniman! Tapi aku juga tak terganggu dengan diamnya Raharja. Lalu aku menyadari bahwa garis-garis tak penting itulah yang membikin sejumlah garis menjadi penting. Tanpa garis-garis tak penting, garis-garis penting itu hanya akan menjadi garis biasa. Barangkali tanpa garis-garis yang hanya digambar untuk dihapus, garis-garis penting tak akan pernah tahu bahwa ia hadir untuk menjadi rangka atas lukisan-lukisan Raharja.

Yang kulihat Raharja tetap melukis. Ia bercerita tentang ia yang mau menjadi pelukis sejak kanak. Ia tak pernah menyebutkan apa yang membikinnya mau untuk menjadi pelukis dan apa yang membikin lukisan menjadi begitu penting untuknya. Lantas aku teringat tentang ucapan seorang penulis. Katanya apa-apa yang penting itu akan tetap penting walaupun tak diimbuhi apa-apa. Dia penting dengan sendirinya, penting dengan apa adanya. Barangkali Raharja juga seperti itu.

Aku mengalihkan pandang ke salah satu lukisan Raharja. Ia menceritakan sekumpulan ibu-ibu yang sedang memanen padi. Kalau tidak 5, jumlahnya pasti 6 orang. Langitnya dilukis senada dengan warna padi-padi yang sudah menguning. Aku jadi bertanya-tanya, apa padi yang siap dituai itu memang menguning seperti itu? Setahuku warnanya memang kekuningan. Tapi kuningnya bukan kuning keemas-emasan yang dilukis Raharja. Entah bagaimana cara membuat warna kuning emas seperti itu.

Raharja diam. Ia tak menyadari pertanyaan bodoh yang berputar-putar dalam kepalaku. Tapi ia tahu aku sedang mengamat-amati salah satu lukisannya. Sejenak, matanya ia tikamkan lekat-lekat pada lukisan yang kupertanyakan kewajarannya itu. Namun Raharja tetap diam. Yang tak diam hanyalah jari-jarinya yang tetap melukis walau diperberat dengan sejumlah cincin batu akik. Dia juga memakai kalung warna perak. Entah perak sungguhan, entah perak-perakan. Ah, peduli amat. Aku cuma suka jaket kulitnya. Ia terlihat serasi dengan rambut panjang Raharja yang sudah memutih.

Raharja pelukis dan aku menulis. Kami sama-sama mengarang. Kami mengarang kesenangan kami masing-masing. Lalu aku paham bahwa padi yang dilukis dengan warna kuning keemasan itu adalah karangan Raharja yang entah bagaimana caranya menjadi kesenangan buatnya.

Aku memilih-milih lukisan Raharja yang ingin kubeli agar aku punya sebuhul kesenangan yang sempat lahir dari padanya. Raharja memilihkan lukisan bunga tulip. Aku sendiri tak tahu alasannya. Ia seolah tak mengizinkanku untuk tahu karena ia tak bilang apa-apa. Lukisan itu biasa saja. Ada 8 kuntum bunga tulip. Warnanya ada 3: merah, kuning dan jambon (merah muda). Batangnya menyatu dengan daunnya. Sama-sama warna hijau tua, biarpun tak tua-tua amat. Benar-benar biasa, walaupun kata ibuku lukisan itu terlihat seperti asli. Tapi kawan, aku terlalu sering menyukai hal yang biasa-biasa saja.

xxx

Pertengahan Mei ini aku kembali mencari Raharja. Jalanan Braga makin penuh sesak. Maklumlah, hari itu hari libur walaupun masih hari Kamis. Orang-orang lalu-lalang sambil berfoto di sana-sini. Tanganku memegang kanvas yang kubawa dari rumah. Aku ingin Raharja melukis di atasnya. Lukisan yang ganjil, lukisan yang samar-samar atau bahkan lukisan yang gelap dan suram. Tapi sampai hari ini, aku tak bisa menemukan Raharja.

Lukisan Raharja yang dulu kubeli itu kutempel di dinding tepat di hadapan tempat tidur. Kutempel begitu saja tanpa bingkai. Permukaannya kasar dan aku gemar menyentuhkan telapak tanganku ke atasnya. Bila aku menatapnya lama-lama, aku pasti terjebak dalam kesenangan yang tak pernah meluntur. Pasti Tuhan memberikannya untukku karena aku sering lupa bahwa kesenangan adalah jatah buat setiap orang yang masih hidup.

Tulisan ini juga ada di Kumparan.

Jangan Lagi Seperti Kartini

2015-04-21_--00-10701_1_kartini

Pembicaraan tentang Kartini seharusnya bukan tentang yang harum-harum saja, ia juga menyoal kematian.

Hari ini Hari Kartini. Biasanya, murid-murid perempuan dari berbagai sekolah akan berdandan semarak. Pakai kebaya dan baju-baju daerah lainnya. Berdandan macam orang dewasa, lenggak-lenggok dalam acara peragaan busana. Yang dewasa, biasanya bakal dihebohkan dengan lomba-lomba yang identik dengan keperempuanan. Memasak, merias, dan entah apa lagi. Ya namanya juga perayaan. Semua orang punya cara paling ideal perihal merayakan sesuatu. Namun kawan, Kartini hidup untuk pemberontakan. Hari lahirnya tak pantas dirayakan dengan kebaya dan riasan belaka.

Kartini terkenal dengan surat-suratnya. Ia perempuan tamatan Sekolah Rendah yang gemar membaca, punya pengetahuan luas dan cita-cita tak biasa. Buat Kartini, pendidikan itu teramat penting. Sampai umur 20 tahun, norma dan tradisi membikinnya tak bisa bersekolah lebih tinggi daripada Sekolah Rendah.

Letters of a Javanese Princess adalah kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers dan diarsipkan oleh Universitas California, Los Angeles. Surat-surat yang aslinya ditulis Kartini dalam bahasa Belanda (pelajaran bahasa yang diterima Kartini di Sekolah Rendah hanya bahasa Belanda) ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Sulastin Sutrisno.

Surat pertama ditulis pada tanggal 25 Mei 1899 dan ditujukan untuk Estella H. Zeehalendaar (dipanggil dengan nama Stella). Beberapa sumber menyebutkan bahwa Stella adalah seorang aktivis feminis radikal dan anggota Partai Buruh Sosial Demokrat (Social-Democratische Arbeiders Partij; disingkat SDAP) di Belanda.

Kartini membuka suratnya dengan antusiasme kepada modernitas yang tak hanya bisa dinikmati oleh laki-laki, namun juga menjadi bagian perempuan. Kartini waktu itu adalah Kartini yang menjadi penjabaran ungkapan “Dulu aku buta, namun sekarang aku melihat.” Ia, dalam suratnya itu merasa senang karena berkenalan dengan Stella, sekaligus merasa begitu tak sabar untuk segera bertemu dengan perempuan-perempuan merdeka yang juga peduli dengan kemerdekaan orang lain.

Kartini hidup dalam tatanan feodalisme yang membikinnya tak bisa bergerak ke mana-mana. Dalam surat di tanggal ini ia bercerita kepada Stella tentang apa yang dihadapinya sebagai perempuan Jawa. Menurutnya sistem pendidikan waktu itu benar-benar dibelenggu oleh tradisi dan konvensi kuno.

Katanya, memberikan fasilitas pendidikan kepada perempuan (pribumi) di zaman itu adalah kejahatan besar bagi adat-istiadat yang ada. Perempuan yang meninggalkan rumah setiap hari untuk bersekolah adalah aib. Makanya, Kartini merasa beruntung atas keberadaan sekolah dasar gratis buatan kolonial Belanda. Sekolah yang agaknya disebut-sebut sebagai Sekolah Rendah itu.

Kartini bilang, ketika berumur 12 tahun ia harus tinggal di rumah. Buat Kartini keharusan semacam ini membuatnya terkurung. Ia benar-benar terputus dari semua komunikasi dengan dunia luar. Katanya, perempuan yang dikurung ini adalah perempuan-perempuan yang dipersiapkan untuk menikah dengan laki-laki yang dipilihkan oleh orang tuanya.

Kartini bukannya tak melawan. Lewat suratnya kepada Stella ia bercerita bahwa ia berusaha menghalangi agar tak dikurung di rumah. Namun apa boleh bikin, orang tuanya pun harus tunduk terhadap adat dan tradisi nenek moyang. Ia pergi ke penjaranya selama empat tahun.

Namun separah-parahnya kondisi empat tahun itu, ia tetap diperbolehkan untuk membaca buku-buku Belanda dan berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya. Bahkan di tengah situasi yang buruk sekalipun, selalu ada hal yang tak buruk-buruk amat, yang masih bisa sedikit membikin sumringah.

Lantas, agaknya, lewat penjaranya inilah Kartini mulai merintis perlawanan baru. Ia menggeser perlawanan fisik kepada perlawanan pikiran.

Larangan kepada perempuan untuk berpendidikan tinggi di zaman itu mestilah berkorelasi positif dengan larangan kepada perempuan untuk menjadi karib dengan pemikiran-pemikiran modern. Dan Kartini menjadi perempuan pemberontak yang mendobrak norma yang beranak cucu seperti ini. Barangkali bukan dobrakan yang membabi buta. Dobrakan yang mungkin tak heboh-heboh amat, namun membikin sadar bahwa ada perempuan Jawa yang tak mau dihabisi norma keperempuanan di zaman itu.

Kartini mengakhiri surat di tanggal ini dengan omongan menggelitik. Ia meminta Stella untuk memanggilnya dengan nama Kartini saja. Tanpa embel-embel Raden Ajeng atau Raden Ayu, tanpa pernak-pernik kebangsawanan.

Sekilas permintaan ini terlihat sebagai bentuk keakraban kepada sahabat penanya. Namun agaknya permintaan ini tak ada hubungannya dengan perihal demikian. Ia berbicara tentang kritik Kartini terhadap feodalisme dan kerumitan ada istiadat yang kolot. Bayangkan, di tengah-tengah era yang menggembar-gemborkan feodalisme, Kartini justru dengan “galaknya” menulis, “Tiada yang lebih gila dan bodoh daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya itu.”

Dalam surat keduanya kepada Stella (tanggal 18 Agustus 1899, surat ini adalah surat balasan Kartini atas surat Stella), Kartini bilang begini; “Buatku hanya ada dua jenis gelar kehormatan (dalam bahasa Inggris penerjemah menggunakan kata aristocracy): gelar kehormatan pemikiran dan gelar kehormatan jiwa.”

Saya teringat tentang satu fragmen dalam novel Gadis Pantai tulisan Pram saat si gadis baru tiba di rumah Bendoro. Sore hari itu ia ditinggal sendirian di satu ruangan. Dan masuklah seorang pelayan perempuan. Perempuan itu membungkuk padanya. Merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Gadis Pantai. Si gadis bingung bukan kepalang. Ini bukan pertama kali mereka bertemu, namun pertemuan pertama mereka tak seperti. Mereka berhadapan sebagai teman. Kali ini mereka berhadapan sebagai majikan dan budak.

Dan bukannya tak mungkin bentuk feodalisme yang seperti ini juga ditentang oleh Kartini. Mereka yang merasa derajat dan statusnya lebih rendah harus membungkuk-bungkuk bila berpapasan dan bertemu.

Selain memberontak terhadap feodalisme dan larangan untuk berpendidikan tinggi, Kartini juga memberontak kepada keharusan untuk menikah.

Norma zaman itu menentang perempuan untuk berpendidikan tinggi. Kalau sudah cukup umur harus menikah. Mengurus suami dan menjadi ibu. Bukan pekerjaan hina. Malah mulia. Namun tak semua perempuan ingin menghidupi kemuliaan yang seperti itu. Bukan karena merasa tak layak, namun karena paham bahwa ada hal mulia lain yang ia inginkan.

Baik kepada Stella, Ovink Soer maupun keluarga Abendanon, Kartini menyatakan penolakannya terhadap pernikahan. Dalam surat pertamanya kepada Stella ia menjelaskan bahwa agama yang dianutnya mengharuskan perempuan untuk menikah. Perempuan yang tak menikah bisa menimbulkan dosa besar. Sementara menurut adat, aib terbesar yang bisa diberikan kepada keluarga adalah perempuan yang tidak menikah.

Kartini memang mengagumi peradaban Eropa. Surat-suratnya terkesan membikin Eropa, khususnya Belanda, terkesan overrated. Menjadi ironi mengingat Indonesia (Hindia) waktu itu masih di bawah kolonialisme Belanda. Namun demikian, Kartini bukannya tak sadar dengan permainan politik Belanda yang dikenal dengan istilah politik etis.

Lewat suratnya kepada Stella tanggal 12 Januari 1900, Kartini secara gamblang mengungkapkan ketidaksenangan orang-orang Eropa atas kemajuan orang-orang Jawa. Orang Eropa, kata Kartini, dengan cara yang teramat sopan selalu bersikap untuk mengingatkan orang-orang pribumi bahwa mereka adalah orang jajahan.

““Saya orang Eropa, kamu orang Jawa” atau dengan kata lain “Saya memerintah, kamu saya perintah.” Kalau orang Jawa berubah menjadi orang-orang yang berpengetahuan, mereka tidak akan lagi mengiakan dan mengamini segala sesuatu yang dikatakan atau diperintahkan oleh atasannya,” seperti itulah cara Kartini menyindir politik etis. Kesadaran yang membikin saya menyetujui omongan Agnes Louise Symmers dalam kata pengantar kumpulan surat ini; bahwa Kartini tidak pernah berupaya untuk menciptakan sekumpulan pseudo-Europeans, tetapi orang-orang pribumi yang lebih baik.

Lantas, mengapa saya tak ingin menjadi seperti Kartini?

Cita-cita Kartini begitu luar biasa. Mendirikan sekolah untuk perempuan-perempuan pribumi. Bukan sekolah semenjana, yang membekali mereka dengan pendidikan ala kadarnya. Tapi sekolah yang bisa membantu mereka merdeka dari jerat feodal dan tradisi. Makanya, Kartini tak mau tanggung-tanggung. Sebagai guru dan pendiri sekolah, ia pun harus diperlengkapi dengan pengetahuan dan keahlian yang tak main-main. Kartini harus belajar di Belanda.

Yang didapat oleh Kartini perihal cita-citanya, tak cuma restu dari si bapak, tapi beasiswa untuk bersekolah di Belanda dari seorang anggota parlemen Belanda. Yang mendapat beasiswa bukan hanya Kartini, tapi juga Rukmini, adiknya. Lantas apa lagi yang kurang? Toh dalam suratnya Kartini juga pernah menjelaskan bahwa ia dan kedua adik perempuannya (salah satunya Rukmini) punya kecocokan yang sangat kuat. Walau ia tak menampik bahwa tetap ada pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka. Pertengkaran yang digambarkan Kartini sebagai pertengkaran yang diikuti oleh perdamaian.

Namun ternyata, ada satu masa di mana Kartini melepas keinginannya untuk bersekolah di Belanda. Ia membatalkan keberangkatannya begitu beasiswa sudah ada di tangan. Entah apa yang membuatnya berubah haluan. Dugaan terkuat adalah kondisi kesehatan bapaknya yang tak lagi prima.

Toh, surat-suratnya menjelaskan bahwa ia memang menyayangi bapaknya. Bapak yang sewaktu kecil mencubit pipinya saat ia bertanya akan jadi apakah nanti waktu ia sudah dewasa. Bapak yang menunjukkan bagaimana kesetiakawanan itu -ingat cerita saat Kartini dan bapaknya menolong anak yang menjual rumput. Bapak yang pada akhirnya memberi restu perihal cita-citanya -bapak yang sama pula yang (barangkali) membuatnya meruntuhkan cita-citanya. Cita-cita yang sama. Cita-cita yang gila itu.

Berangkat atau tak berangkat ke Belanda, Kartini tetap mendirikan sekolah yang ia mimpi-mimpikan. Barangkali ia sadar bahwa mimpi yang dirawatnya dengan kegilaan tak terperi adalah mimpi yang indah bukan kepalang. Namun, meminjam pertanyaan seorang penulis, seberapa indah mimpi jika tetap mimpi? Pertanyaan yang dijawab Kartini dengan sekolah yang pada akhirnya memang didirikannya.

Namun ada yang lebih mengejutkan daripada keputusan Kartini untuk membatalkan keberangkatannya ke Belanda: pernikahan. Kartini menikah. Ia menikahi Bupati Rembang. Ia menghidupi poligami yang dulu amat dibencinya. Ah.

Di satu sisi, Kartini adalah jawaban bagi perempuan Indonesia. Penulis Belanda yang semasa kecilnya tinggal di Batavia, Louis Couperus, yang ikut menulis kata pengantar Letters of a Javanese Princess menggambarkan Kartini sebagai suara dari tanah Jawa yang terdengar sampai ke tanah Eropa. Namun di sisi lain, Kartini adalah melankolia dari perempuan Indonesia di zaman itu.

Saya tidak ingin menghakimi Kartini. Saya tak mengecap cita-citanya gagal, karena toh, cita-citanya atas pendidikan perempuan Indonesia benar-benar terwujud. Ia menjadi sejarah. Dan saya teramat yakin, tanpanya perempuan Indonesia tak akan bisa seperti sekarang.

Saya teringat apa yang ditulisnya kepada (lagi-lagi) Stella pada 17 Mei 1902. Kartini bicara seperti ini; “Jadi kamu lihat saja, terlepas dari cita-cita tinggi saya akan kemerdekaan, saya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan asal, yang benar-benar membuat kaum perempuan terasing.”

Di tanggal ini ia memang belum memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Belanda. Namun kata-katanya ini semacam mengisyaratkan kesadarannya akan tembok-tembok yang tak bisa ia robohkan. Tembok-tembok yang sedikit banyak memengaruhi keputusannya untuk mengubur dalam-dalam keinginan untuk berangkat ke Belanda. Benteng-benteng yang mendesaknya untuk masuk pada pernikahan dan tunduk pada poligami. Tak lama memang, hanya satu tahun. Namun agaknya satu tahun ini adalah satu tahun dengan kesakitan yang berlarat-larat. Kesakitan yang menjadi tanda bahwa ada yang dilepas dalam sebuhul cita-citanya. Keputusan yang mengantar Kartini kepada kematian. Kematian yang denotatif. Kematian yang ragawi.

Kartini tadinya menentang takdir, namun kini ia tunduk kepada takdir. Kartini mati empat hari setelah melahirkan. Namun kawan, aku bukan Kartini. Aku mau hidup yang lama, hidup yang panjang. Aku mau hidup yang kekal, hidup tanpa kematian.

Sumber gambar: Media Indonesia.

That Time

1)

You turned Your love

into the wonderful surrender

How precious that time

when You united me

to the hope I had dreamed of

**

You are the God who left

the heaven to get me back

You resisted Your throne

so I could receive Your grace

 

You’ve won every fight that I’ve faced

I’ve been safe in Your arms

You’ve been my greatest love

2)

You changed my shames

into the glorious victory

How irreplaceable that time

when You placed

Your crown on me

***

Your sacrifice has deserved me a life in grace

That cross, Your scream, Your blood

have ignited the light for my darkness

And now I will not set the rival for Your love

Because Your love deserves to be the greatest in me

22-3-2017, 17-4-2017

Wiji Thukul yang Biasa Saja

get

Ternyata Wiji Thukul bukan seperti penyair yang kubayangkan sebelumnya.

Empat-lima kali kudengar dan kubaca puisi Wiji Thukul. Wih, penuh gelora! Membikin berapi-api dan menegakkan bulu kuduk. Katanya, apa-apa yang dia tulis membuat sekeliling meledak-ledak walau ia tak menenteng granat dan mengokang laras panjang. Ganas menusuk menikam tanpa ampun. Pikirku dia memang orang sakti.

Tapi Wiji Thukul yang kulihat malam tadi adalah Wiji Thukul yang biasa-biasa saja. Kuperhatikan dia baik-baik, kutikamkan mata padanya lekat-lekat. Badannya kurus bagai kurang gizi. Rambutnya keriting megar serasa ingin kubabat sampai plontos. Tampilannya kumal, tanpa daya tarik. Makanya aku masih heran, kenapa orang seperti ini begitu diburu. Toh kelihatannya ia tanpa gairah, tanpa hasrat, tanpa renjana.

“Istirahatlah Kata-kata” bisa disebut sebagai keganjilan seorang Wiji Thukul. Film ini mengambil latar tempat dan waktu saat ia melarikan diri ke Pontianak. Periode ini sebenarnya cukup krusial dalam sejarah hidup Wiji Thukul. Ini adalah kali pertama ia dinyatakan sebagai tersangka. Namun ternyata, semenggebu-gebu apa pun kejaran yang dialamatkan padanya, cerita ini cenderung sunyi tanpa gejolak. Kesunyian yang selayaknya bukan menjadi bagian dari seorang yang menjadikan kata-kata sebagai ujung tombak perjuangannya.

Lantas kalau kata-kata kehilangan suaranya, apa lagi yang bisa ia perbuat?

Mengharapkan aksi-aksi heroik, fragmen-fragmen demonstrasi dan pekikan orasi sama dengan mengharapkan yang tak pernah ada di film ini. Kehidupan Thukul dalam pelariannya di Pontianak adalah kehidupan yang biasa. Makan, tidur, minum kopi, bengong, cangkruk dengan teman, duduk-duduk di teras, main kartu, ngebir, kangen istri, mencari oleh-oleh, keluar malam buat beli tuak.

Sebagai orang yang tak tahu-tahu amat dengan Wiji Thukul, sebagai seorang mbak-mbak kantoran yang masa mudanya tak pernah digerakkan oleh semangat perjuangan, tentu ada semacam rasa penasaran untuk menyaksikan Wiji Thukul –atau setidaknya orang yang memerankan Wiji Thukul- beraksi lantang dengan puisi-puisinya itu.

Tapi apa boleh bikin, adegan Thukul menyerukan “hanya ada satu kata: lawan!” yang termasyhur itu tak kunjung muncul. Syukur-syukur aku masih bisa melihat bagaimana puisi tentang tahi itu dimunculkan, “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tahi.” Itu pun tak di depan gedung wakil rakyat, tanpa desing peluru dan kejaran aparat. Ia diperdengarkan di depan Martin dan Thomas yang tertawa-tawa sambil minum bir, saat Thukul sudah berganti nama menjadi Paul.  Ah, jadi kapan kita ngebir, Mas Wiji?

Menyaksikan Wiji Thukul dalam “Istirahatlah Kata-kata” berarti menjadi karib dengan Thukul yang lain. Di film ini kemanusiaannya seperti ditelanjangi. Bukan untuk dipermalukan, tapi sebagai upaya untuk mempertegas bahwa ia memang manusia. Bahwa orang yang dihilangkan secara paksa ini memang benar-benar manusia.

Thukul yang muncul di sini adalah Thukul yang bertahan dalam tekanan, sembunyi dari kejaran. Mungkin karena itu ia ditampilkan sebagai sosok yang diam, yang menghabiskan banyak waktu dengan bengong dan tanpa suara.

Segala hal yang memburu Thukul memang tak terlihat di Pontianak. Secara kasat mata, ia hidup enak di sini. Mau makan ada yang mengantarkan makanan. Ketika mulai bosan ada kawan yang mengantar jalan-jalan. Ia dan kawan-kawannya bercengkerama di tepi sungai, tertawa-tawa main kartu di rumah orang. Ah, semacam sedang mengambil cuti dan piknik ke Kalimantan.

Namun kegelisahan adalah satu hal yang tak bisa ditutupi lewat peristiwa-peristiwa biasa itu. Kegelisahan Thukul menandakan tekanan yang tak sedang mereda. Hantamannya benar-benar hebat; sampai-sampai melahirkan kegelisahan luar biasa bagi Thukul yang seharusnya sudah terbiasa diburu dan dilempari.

Yang membikinnya gelisah bukan kepalang sampai tak bisa tidur dan menulis -bukankah gawat jika penyair tak lagi bisa menulis- bukan melulu soal nasibnya yang sedang diburu. Ini juga tentang -meminjam istilah seorang penulis- struktur politik yang semakin tak berpihak pada apa yang diperjuangkannya. Tekanan itu bukan hanya yang dialamatkan padanya, tetapi juga yang menghimpit kawan-kawan yang dibelanya lewat puisi.

Hal-hal liris yang ditampilkan dalam “Istirahatlah Kata-kata” memang melegakan. Ia memang rekaan, hasil olah data dan imajinasi sang sutradara. Namun keberadaannya seolah berbicara bahwa seorang penyair, pejuang garis depan yang memimpin ribuan buruh berdemonstrasi memperjuangkan hidupnya juga bisa gelisah dirundung tekanan. Hari ini ia bisa tertawa-tawa bersama teman, besoknya ia sudah kangen setengah mati dengan istri. Puisi-puisinya memang kerap terdengar dari baris depan. Namun sekali waktu, tangannya juga tak sanggup menulis, pikirannya tak cukup kuat buat melahirkan bait-bait puisi yang membikin berang sekompi kacang ijo. 

Lantas, keseharian Wiji Thukul yang tak menarik-menarik amat ini dimunculkan di tengah-tengah kebiasaan orang-orang sekitarnya di Pontianak.

Pada umumnya, mengamati orang yang lalu-lalang, memotret secara spontan tanpa aba-aba untuk berpose dan menulis apa-apa yang dilihat mata sering membuahkan potret dan tulisan yang membikin jemu. Padahal bukankah menulis dan memotret juga merupakan perkara mengabadikan apa-apa yang terabaikan oleh mata? Bukan cuma merekayasa dan memoles jadi cantik atau memantik-mantik api yang sebenarnya tak perlu.

Entah tulisan, entah film atau potret –semuanya punya tendensi untuk menampilkan hal-hal spektakuler. Buat apa diabadikan kalau yang ditampilkan cuma hal biasa? Buat apa dipertontonkan kalau setiap hari pun bisa disaksikan sambil lalu, dengan mata telanjang?

Keseharian menjadi membosankan karena ia dapat terjadi di mana saja. Ia menjadi biasa karena bisa terjadi pada siapa saja. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah keseharian ini memang biasa atau ia adalah hal-hal yang dipaksa untuk menjadi biasa?

Antrian di tukang cukur yang diserobot halus aparat lewat ungkapan “Maaf, Bapak sedang bertugas,” mungkin memang sudah jadi keseharian di Pontianak waktu itu. Kesenangan untuk tak memungut bayaran atas jasa potong rambut aparat mungkin memang hal yang biasa terjadi. Kerelaan untuk nrimo atas apa pun yang diucapkan sudah jadi budaya yang manis di sana.

Apa yang aneh dengan mati listrik? Apa buruknya saat orang-orang berseragam meminta KTP atas nama keamanan? Bukannya wajar kalau ada roti yang tak terbeli? Bukankah sudah lumrah kalau tetangga yang dianggap meresahkan tiba-tiba ditangkap satpol? Bukankah buku-buku yang memantik gejolak memang sudah seharusnya diberedel? Bukankah sudah kepalang wajar kalau ada suami yang tak pulang-pulang ke rumah?

Menghilangnya Wiji Thukul dan kawan-kawannya adalah hal yang dipaksa untuk menjadi biasa. Keberadaan Wiji Thukul adalah tanda tanya yang dipangkas menjadi titik.

Kebiasaan memang perkara lumrah. Namun kebiasaan adalah satu hal dan dipaksa biasa adalah hal lain. Dan kehilangan adalah perkara yang tak pernah menjadi basi.

Orang-orang itu bukannya menghilang dua-tiga tahun lalu. Sudah belasan tahun, sudah satu dekade lebih. Namun istri, sanak dan orang tua mereka belum berhenti membuka pintu buat yang sampai sekarang tak kunjung pulang. Ibu-ibu berbaju dan berpayung hitam itu tetap berdiri dan membisu di depan Istana Negara setiap Kamis sejak sepuluh tahun lalu. Keberadaan mereka memang tanpa lemparan botol dan nyanyian yang memekakkan telinga. Namun keberadaannya akan tetap mengganggu siapa pun yang berusaha menghilangkan kehilangan mereka.

Barangkali istri-istri ini sudah tak kaget saat ditanyai “Kapan Bapak pulang?” oleh anak-anak mereka. Atau mungkin Wani dan Fajar sudah kebal melihat pipi teman-temannya diciumi bapak ibunya di waktu-waktu sakral. Namun kawan, rindu itu -termasuk rindu Sipon- adalah rindu yang beranak cucu. Dan nyeri tanpa jeda itu tak kenal waktu. Ia tetap datang walau sudah bertahun-tahun.

Lantas, sehebat apa pun upaya untuk membiasakan kehilangan ini, akan selalu ada syair yang berteriak atas luka yang belum menutup. Syair yang tak pernah diam walau hardikan kerap datang berbondong-bondong. Syair yang tak bisa dihilangkan walau sang penyair sudah lama dihilangkan.

Wani dan Fajar adalah nama anak Wiji Thukul: Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.

Sipon adalah nama panggilan istri Wiji Thukul: Siti Dyah Sujirah.

Sumber foto: http://istirahatlahkatakata.id/

O General! My General!

general-leia-organa-2

In a galaxy far, far away; there is a story of refusing to keep a hope just to be a hope, a story of the Force that often goes unnoticed, a story about Leia Organa.

She talked to a droid called as R2-D2, commanded him to forward a message asking for a help from the only one hope, Obi Wan-Kenobi. There were two buns on her head, kind of funny yet unforgettable hairdo. Her dress was not fancy, a long white dress without pretty cutting.

Darth Vader was after her. She did not throw any kind of superhero moves while she was carrying that mission. And without taking too much time, she became a Vader’s prisoner. She indeed did not kick him, but she did not give up on him too. That was my first hello with Leia Organa.

She was a princess, a different princess. The only one princess I wanted to be. I always refuse all the ideas about princess that fairytale offers. I never watch Cinderella, have no idea about whatever a girl’s name in Beauty and the Beast, give no care about what exactly Tinkerbell is and already feel sucky to hear about Snow White.

I have no problem about every imagination of being princess, which becomes so normal to stay in the wildest woman’s fantasy. I just never want a prince charming –someone who wakes me up from my long sleep by kissing or someone who chases me after being a dance partner in a huge ballroom. I never agree that true love requires magic, it requires strength and some witty banters. And I’m not touched by life-changing fairy magic dust.

That is why there is always a room for Leia, even though watching all the Star Wars episodes gets me so easy to root for Han or Vader. Leia was a princess who carried a Blaster, instead of flower. A princess who chose not to sit on a throne, but in a cockpit together with two men and a Wookie she just met. She indeed fell in love, not with a prince charming on a white horse, but with a rogue-ish smuggler who flew Millennium Falcon.

She did not get “I love you too” for her “I love you”, a minute before her love was getting carbonized by Vader. She got an “I know” for it. Thing I have always wanted to get for my “I love you” and thing I have always wanted to give for his “I love you”.

To me, it felt relieving to find an off the chains princess like Leia Organa. But as the time goes by, every kind of princess figure is swept away. I want to keep a room as big as the early times I knew Princess Leia. But apparently, everything changes, including a room for her. It is still there, but with the smaller size.

The last Leia I know is not Princess Leia, she is General Organa. Instead of choosing to live happily ever after, Leia chose to live badassly ever after.

I’m thinking of her path to be a general. She is a twin for Luke, which logically, the Force is with her too. I had always thought that the Force had to be something magical, just like on Obi Wan, Yoda, Luke or Vader. It is idyllic to control someone’s mind or to choke someone without touching.

I remember what Han Solo said to her when they met again in The Force Awakens. He told her that she already changed her hairstyle. But I’m sure she did not turn it into something really new. That was the same hairstyle she wore when she led the Rebel Alliance for the first time. The time when she might think that the Force would choose her to have a lightsaber and keep the way clear for her. But apparently, Leia’s relationship with the Force is something unnoticed, it is not a spotlight darling.

Leia’s Force is not about magic, it is about something human. Her connection with the Force has always been about her sense of empathy. It appeared when she reached Luke’s call after a fight against Vader. Luke was on critical situation, and Leia together with Lando, Chewie, R2-D2 and injured C-3PO were about on their way to leave. But surprisingly her Force made her able to reach Luke’s call. She knew Luke needed her help. She insisted them to fly back and finally they indeed found Luke.

I guess that was similar to what happened in The Force Awakens. That kind of heart-breaking fragment when she sensed the death of Han Solo. A sense about her another big loss, after of course, she lost her son, Ben –who gave himself to the Dark Side- and her brother, Luke, who buried himself in grief and guilt.

She has fought for Rebellion through her whole life. During her fight, there are people like Luke, Han and Ben. But in the end, she has to lose them. Years before, her planet and home were destroyed. Her adoptive parents were killed, her biological mother died after giving birth for her and her biological father chose to be a monster before he died.

People may get surprised because through those merciless losses, she turns to be a general without the fancy Force. But the Force is not bigger than Leia herself. The Force she has makes her sense thing she needs to understand and accept, even though it hurts. And together with the Force like this, there is always a melancholy she has to swallow.

Some epics end violently. Others push themselves not to end at all. Perhaps her tartness is just too huge to take, but she has seen that she is not the only one who lost everything. She doesn’t quit. And somehow, this decision reminds me that a choice to be General Organa has always existed -even through the time I thought strength could not exist.

Photo credit: starwarstheskywalkerlegacy.com

Lelaki Tua dan Jalan Raya

img20161217065640

Rambutnya putih, baju hangatnya warna hijau muda. Ia duduk di belakang kemudi, mengingatkan saya akan tokoh dalam kisah Lelaki Tua dan Laut*. Namanya entahlah, tapi dia memesona. Pesonanya bukan perkara keelokan paras, namun tentang daya yang tak redup dihajar usia.

Jalan raya hari itu sedang sepi-sepinya. Hanya lima-enam mobil yang melintas. Ini Sabtu pagi, orang-orang sedang asyik meringkuk di balik tebalnya selimut. Jalan raya memang lengang, tapi si lelaki tua tetap duduk di belakang kemudi angkot birunya.

Tadinya saya pikir saya akan naik angkot yang kosong. Sekilas, dari luar, tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Tak tampak perempuan-perempuan muda berseragam putih-hitam yang gemar melirik jam sambil mendengus kesal karena angkot tak kunjung jalan. Tak terlihat pula segerombolan anak sekolah yang senang membikin ribut bahkan saat belum naik ke angkot. Biasanya, jam-jam segini, angkot sudah ramai. Banyak orang berebut kursi, berpacu dengan jam kerja yang tak kenal ampun. Tapi ini Sabtu pagi, orang-orang gemar diam di rumah.

Namun rupanya, ada siapa-siapa di dalam angkot. Bocah laki-laki. Kalau dikira-kira, usianya tak akan lebih dari 12 tahun. Ia memakai kaus oblong warna putih dan celana denim berpotongan lebar. Rambutnya ditutupi topi warna abu-abu suram, tas selempang entah berwarna apa tergeletak manis di pangkuannya. Yang paling lucu adalah sepatunya. Hitam, mengilap. Ia memakai sepatu pantofel laiknya pekerja kantoran. Ah, upaya anak-anak untuk menjadi serius memang memang lihai mengundang senyum. Saya tersenyum simpul untuknya. Seketika, keganjilannya yang menggelikan terasa karib dengan zaman dulu, waktu seorang kanak ingin bergegas menjadi dewasa.

“Turun di mana, Cep?” suara orang tua ini masih tak tergilas usia. Tegas, nyaring, tanpa getar dan gagap. “Mohammad Toha;” jawab si bocah. Matanya mata orang bingung. Barangkali ia tak yakin-yakin amat dengan rute yang dilewatinya. Lantas si lelaki tua mempersilakannya turun, menunjuk angkot lain yang akan mengantarkannya sampai tujuan. Barulah saya paham kalau si bocah memang tak paham jalan. Ia pikir angkot ini bakal langsung membawanya sampai tujuan. Ya apa boleh bikin, Nak, khatam rute angkot memang bukan perkara mudah.

Sebelum si bocah sempat mengeluarkan uang, si lelaki tua sudah menolak untuk dibayar. Mungkin ia kasihan dengan si bocah, pagi-pagi sudah tersesat. Senyumnya melebar waktu ia menolak uang si bocah yang seketika menyeberang mantap mengejar angkot berikutnya. Si bocah tampak senang, tapi entahlah dengan si bapak. Angkotnya kosong, jalananannya sepi.

Lantas saya menjadi satu-satunya penumpang di angkot itu. Ia berteriak “KOSONG!” saat melewati pak ogah yang gemar menarik uang atas jasa menyeberangkan kendaraan. Angkot itu benar-benar kosong tanpa penumpang, kecuali saya. Tanpa riuh dan pikuk yang jadi ciri yang kerap melekat. Saya menimbang-nimbang, kalau saya adalah si lelaki tua, saya bakal mendengus kesal. Geram terhadap jalanan yang tak kunjung ramai, jengah dengan kemalasan orang-orang di Sabtu pagi.

Saya memerhatikan sosok si bapak dari belakang. Rambut putihnya disisir rapi ke belakang. Mirip dengan pemuda masa kini yang gemar memakai pomade. Tampilannya benar-benar klimis. Saya senang memerhatikan baju hangatnya warna hijau mudanya. Mirip dengan kepunyaan saya yang berwarna merah marun. Saya pikir kalau saja saya mengenakan baju hangat itu, saya dan si bapak benar-benar tampak sedang merayakan Natal. Warnanya warna semarak Natal.

Jalan raya tetap sepi, hanya sesekali kendaraan melintas. Saya suka jalanan yang lengang semacam ini. Angin pagi ini tak kencang-kencang amat, cerahnya juga tak membikin gerah. Ia jadi lawan yang tepat buat penat yang senang bercokol.

Lima-empat menit menjelang sampai di tujuan, saya kembali mengalihkan pandangan ke arah si lelaki tua. Saya sengaja memerhatikan si lelaki tua lewat kaca spion d sebelah kanan atas kursi penumpang depan. Raut wajahnya tetap segar walau tanpa senyum. Tangannya yang keriput tetap lihai memegang kemudi. Laju angkotnya tetap mantap walau penumpang tak kunjung datang. Kaca jendela di sisi kanannya diturunkan sampai paling bawah, sisiran rambut putihnya tetap kokoh melawan angin pagi. Menyenangkan, sisa-sisa pagi ini berjalan dengan asyik.

Lantas, atas segala keasyikan yang tersusun dari keriput dan beberapa lembar uang dua ribuan, saya ikut berbahagia untuknya dan diri sendiri. Kami berbahagia dengan kesenangan ganjil dan remeh yang barangkali tak akan masuk hitungan jika dibandingkan dengan kepunyaan orang lain. Kesenangan yang tersusun oleh -entah keyakinan, entah kenaifan- bahwa rezeki dan keberuntungan dapat datang dalam bentuk apa pun, dalam wujud yang tak disangka-sangka.

Di angkot itu, di belakang kemudi seadanya, ia adalah Santiago. Ia Santiago yang membiarkan saya menemukan kesenangan saat rezeki belum datang berbondong-bondong.

Saya membayar ongkos tumpangan. Bangku angkot birunya belum juga terisi. Dan entah bagaimana caranya, seketika saya teringat satu kalimat yang berpesan: Jangan takut, percaya saja.

Lelaki Tua dan Laut adalah novella karya Ernest Hemingway yang terbit tahun 1952 dan mendapat penghargaan Putlizer untuk kategori fiksi tahun 1953. Novella ini bercerita tentang perjuangan Santiago, nelayan tua asal Kuba, dalam menangkap ikan marlin di tengah arus Teluk Meksiko.

Gerrard Sebagai Komedi

Jika dalam sandiwaranya yang berjudul As You Like It Shakespeare menulis bahwa seluruh dunia adalah panggung, maka Steven Gerrard adalah lakon yang dapat membikin penontonnya tertawa.

Gelak tawa para penyaksi tak berhenti sampai hampir pada tahun ketujuh belas, walau tak tahu pasti sejak kapan tawa itu dimulai. Gerrard ada di atas panggung komedi. Komedi yang farce – yang seronok, yang membuat penontonnya terpingkal-pingkal.

Komedi farce yang pada era 1960-an pernah disepadankan oleh mendiang Motinggo Busye sebagai banyolan dapat diartikan sebagai lelucon atau jenis drama lucu yang dibedakan dari komedi biasanya karena cenderung lebih memperhatikan plot dibandingkan perwatakan. Jika melihat dari sejarahnya, farce, seperti halnya drama di awal tarikh Masehi sering dijadikan sebagai selingan pada saat menyampaikan pesan-pesan serius mengenai keselamatan dalam liturgi gereja. Fungsinya ini memang sesuai dengan asal katanya  ‘farcire’, yang bermakna memasukkan hal-hal yang cenderung memberi rasa senang.

Bagi seorang dramawan ataupun pelakon komedi farce, kemampuan untuk meramu situasi yang sangat lucu adalah segalanya. Berbeda dengan drama yang lain, farce tidak pernah berusaha untuk menciptakan tokoh atau karakter tertentu – ia berusaha untuk menciptakan situasi. Situasi yang didramakanlah yang harus memancing gelak tawa para penonton. Secara kasat mata, tertawa memang aktivitas yang mudah untuk dilakukan. Ia tak serumit belajar atau sekhusyuk merenung – tapi coba ingat-ingat lagi, ada berapa banyak situasi yang begitu melekat pada ingatan karena menimbulkan tawa.

Lahir di Inggris – negara yang juga menjadi tanah air dramawan legendaris William Shakespeare – Steven Gerrard memang menjadi pelaku farce ulung. Laiknya seorang jenius farce, Steven Gerrard sadar bahwa tertawa yang laras dalam koridor komedi adalah tertawa yang dapat menelanjangi kebodohan, kesalahan dan kelemahan yang ada dalam setiap orang lewat situasi yang ia ciptakan di atas panggungnya – dan jika berbicara soal Gerrard, maka Liverpool adalah panggung.

Membicarakan komedi apalagi jika sadar bahwa kita masih hidup di negeri ini mau tak mau akan membawa kita kepada fenomena sajian komedi yang hanya menertawakan orang lain. Komedi yang hidup bahkan  menjamur di sini adalah komedi yang cenderung menjadikan “cacatnya” orang lain sebagai hiburan – biasanya model yang diangkat sebagai tertawan adalah lakon-lakon pria yang kewanita-wanitaan – sehingga seolah-olah yang menertawakan adalah orang-orang yang bebas dari “cacat”, bebas dari kekurangan.

Sandiwara berjudul The Comedy of Errors milik Shakespeare adalah contoh farce yang perlu diingat. Alurnya biasa saja, bercerita tentang dua pasang orang berwajah sama dan bernama mirip yang memiliki seorang pelayan dan berada di satu kota sama. Mereka berdua masing-masing memiliki saudara kembar. Kembar identik yang juga memiliki pelayan yang mirip dengan pelayan dua pasang orang pertama. Pada intinya drama ini menceritakan tingkat kesalahan dan kebodohan manusia yang nyata dalam kehidupan. Sehingga dengan menonton dan menertawakan adegan-adegan dalam drama ini, penonton pun sebenarnya sedang menertawakan setiap kesalahan dan kebodohan yang ada pada mereka.

Di atas panggung Liverpool, ada banyak situasi yang diciptakan Gerrard lewat lakonnya. Lakonnya sebagai legenda hidup, lakonnya sebagai pesepak bola yang telah enam kali meraih penghargaan sebagai pemain terbaik Premier League, lakonnya sebagai pesepak bola yang mencetak seratus delapan puluh gol bagi Liverpool namun belum pernah sekalipun mengangkat trofi Premier League.

Sekali lagi, farce tak bertujuan untuk menertawakan tokoh – ia bertujuan untuk menertawakan situasi. Lantas, sebagai pelakon farce panggung Liverpool, apa yang harusnya ditertawakan, apa yang harus ditelanjangi lewat tawa atas situasi yang diciptakan oleh Gerrard?

Gerrard sebagai aktor dari komedi farce yang dimainkannya memang kerap mengundang gelak tawa. Ia bukan pesepak bola sembarangan. Ia tak hanya menjadi bintang Liverpool – ia adalah pesepak bola yang memimpin Liverpool, terlebih lagi, ia adalah pesepak bola yang besar di Liverpool. Prestasinya juga tak sembarangan. Pesepak bola yang menyumbang sebelas trofi bagi klubnya tentulah bukan pesepak bola asal jadi dan asal tampan. Namun, atas satu hal yang sampai hari ini belum bisa diraihnya – ia menjadi tertawaan banyak penikmat sepak bola. Selebrasi mencium kameranya tentulah menjadi objek lelucon yang menyenangkan. Foto aksi mengangkat trofi Premier League dari pesepak bola yang menjadi rival klubnya yang dibubuhi tulisan seolah-olah sang rival sedang memaksa Gerrard untuk melihat baik-baik apa yang sedang diangkatnya tentulah menjadi banyolan segar yang entah berapa kali muncul di dunia maya.

Gerrard adalah ironi. Di satu sisi begitu mendamba trofi Premier League, di satu sisi ia sendiri pula yang membikin usaha untuk mewujudkan ambisinya berantakan lewat insiden terpleset yang termahsyur itu. Insiden yang terlihat sepele namun selalu diandai-andaikan agar tak terjadi.

Dalam esainya yang berjudul “Lantas, Apa Salahnya Ketawa?” Remy Sylado menjelaskan bagaimana komedi yang sebenarnya. Menurutnya, apa yang harus dimiliki oleh aktor dan aktris komedi – bukan pelawak – adalah kemampuan untuk menafsir naskah dengan menggunakan tubuhnya untuk menjadikannya sebagai seni peran yang presentasional. Sebuah seni yang bekerja dengan memadukan kata-kata lucu dan gerak-gerik jenaka yang dapat menjungkirbalikkan sebuah doktrin yang terlanjur menancap dalam kepala setiap orang. Misalnya, sadar atau tidak sadar, kita kerap didoktrin tentang menakutkannya sebuah kesalahan. Kesalahan sedikit bisa meluluhlantakkan apa selama ini dibangun dengan susah payah. Namun dalam komedi, kesalahan adalah hal yang paling sering ditertawakan. Sehingga bolehlah disimpulkan bahwa komedi yang paling laras itu adalah komedi mempertontonkan sebuah pertunjukan di mana aktor dan aktris yang ditertawakan oleh para penontonnya karena apa yang dibuatnya di atas panggung harus menjadi gambaran dari semua orang yang menonton pertunjukan itu. Komedi yang seharusnya bukanlah komedi yang menyajikan hal-hal yang membuat penontonnya menertawakan aktor dan aktrisnya semata, tetapi menertawakan kesalahan, kebebalan ataupun kebodohannya sendiri – menertawakan apa yang sebenarnya ada dalam hidup si penonton.

Sosok Gerrard yang entah sejak kapan menjadi begitu karikatural dan cepat memprovokasi gelak tawa, secara teori seharusnya menjadi wajah dari sepak bola itu sendiri. Jika selebrasi mencium kameranya mengundang olok-olok dengan dalih bahwa yang bisa diciumnya hanyalah kamera bukan trofi Premier League – barangkali sebagai aktor farce, Gerrard ingin menunjukkan bahwa seperti itulah sepak bola. Terkadang tak semua gelar bisa direbut. Ada begitu banyak kompetisi, ada begitu banyak peluang, ada begitu banyak kesempatan – namun yang namanya peluang, tentulah tak semuanya bisa berhasil diraih. Insiden terpeleset atau jadwal panjang duduk di bangku cadangan yang kerap menjadi bahan humor itu seharusnya menjadi gambaran bahwa sehebat apapun seorang pesepak bola, akan tiba masanya saat ia tak lagi menjadi pesepak bola yang istimewa. Gerrard mempertontonkan sebuah adegan saat superioritas seorang pesepak bola harus takluk oleh insiden terpeleset di lapangan. Gerrard sedang membawa para penontonnya untuk menyaksikan sebuah plot yang di mulai dari saat ia yang begitu akrab dengan lapangan dan puja-puja para penggemar sampai saat bangku cadangan dan olok-olok yang menjadi karibnya. Para penonton tertawa, terbahak-bahak sampai sakit perut.

Menyimpulkan perkataan Remy Sylado, jika tawa yang disajikan Semar, Petruk, Gareng ataupun Bagong sedikit banyak membantu Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa – maka Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, David De Gea, Manuel Neuer, Andrea Pirlo pun berutang banyak atas setiap gelak tawa yang ditujukan buat Steven Gerrard, gelak tawa yang sedikit banyak mengingatkan kalau akan tiba masanya mereka tak lagi jadi pesepak bola istimewa.

Tulisan ini pernah tayang di portal yang sekarang sudah jadi mendiang, ditulis saat Gerrard memutuskan hengkang dari ranah sepak bola Inggris.

Pertandingan Terakhir Bapak

article-2384587-0021142e00000258-740_634x403

 

Malam terakhir bersama bapak saya habiskan dengan menonton sepak bola.

Pertandingan itu dimulai sekitar jam 9 malam. Walau bukan final, ini pertandingan penting. Milan melawan Chelsea. Piala Champion. Ini pertandingan kelima Milan di babak penyisihan grup. Sebelumnya Milan baru menang 1 kali, kalah 1 kali dan seri 2 kali. Mereka ketinggalan 1 poin dari Hertha Berliner yang jadi peringkat kedua. Perkara sepak bola memang sering mengesalkan seperti ini.

Karena pertandingan dimulai saat belum malam-malam amat, saya dan bapak sepakat untuk makan di kedai bakmi langganan dulu. Kami berdua memang gemar makan bakmi. Rasanya mau sebanyak apapun, bakmi-bakmi dalam mangkok itu akan selalu habis bila berhadapan dengan kami berdua.

Bapak yang pertama kali mengajari saya menonton sepak bola. Di mata ibu saya, dia serupa kompor yang gemar memanas-manasi anak perempuannya supaya ikut menyukai sepak bola. Saya ingat tumpukan tabloid Bola yang kerap dibelikannya dengan senang hati. Begitu pula dengan majalah Liga Italia yang kalau tidak salah terbit dua kali sebulan. Harganya dulu 20 ribu, terbilang mahal untuk ukuran zaman itu. Tapi toh, bapak saya senang-senang saja setiap membelikannya buat saya.

Sejak gemar menonton dan bermain sepak bola bersama bapak, saya sering dihadiahi barang-barang yang berbau sepak bola. Mulai dari bacaan sampai kostum sepak bola. Saya ingat kostum pertama saya: Fiorentina warna ungu terang dengan nama Batistuta di bagian punggungnya. Ibu saya sering jengah bila melihat saya mengenakan kostum itu. Dia tak senang. Selain warnanya yang kelewat mencolok, kata ibu itu bukan baju buat perempuan.

Berbeda dengan bapak yang merupakan penggemar Manchester United, saya menyukai AC Milan. Ceritanya sederhana, pertandingan sepak bola pertama saya adalah saat Milan bertandang ke kandang Bologna. Sumringahnya bukan main saat pertama kali saya mengiyakan ajakannya menonton sepak bola.

Walau tak menyukai AC Milan, bapak saya senang-senang saja kalau harus menemani saya menonton. Dia pula yang memberikan lampu hijau untuk menonton pertandingan dini hari walau paginya saya harus bersekolah. Bapak saya pula yang berinisiatif untuk mengizinkan saya memiliki televisi butut di kamar. Biar kalau dia sedang tugas di luar kota, saya tak perlu menonton sendirian di ruang keluarga.

Namun demikian, pertandingan tengah malam yang boleh saya saksikan saat tak libur hanya pertandingan-pertandingan tertentu. Hanya pertandingan Milan dan laga akbar di Piala Champion. Pernah sekali waktu saya melanggar aturan ini. Saya lupa pertandingan siapa, tapi yang jelas saya benar-benar ingin menontonnya. Pintu kamar saya kunci, lampu kamar tidak saya hidupkan, suara televisi saya matikan. Saya seperti menonton pertandingan bisu. Kurang pas, tapi yang penting bisa menonton.

Pertandingan itu selesai hampir sekitar jam setengah 5 pagi. Ibu saya biasa bangun jam segitu. Beberapa saat sebelum pertandingan selesai, televisi saya matikan dan pintu tidak saya kunci lagi. Saya pikir ini antisipasi yang baik kalau ibu saya tiba-tiba bangun. Tapi agaknya, orang tua selalu tahu jika anaknya berbohong. Ibu saya tahu saya pura-pura tidur. Dia memang tidak membangunkan saya, tapi dia memegang permukaan televisi di kamar saya. Bisa ditebak, pasti hangat. Apa boleh bikin, tipuan saya memang masih amatiran. Saya ketahuan melanggar aturan menonton sepak bola. Tapi bapak saya tetap tak marah.

Pertandingan malam itu lumayan mengundang kantuk. Tapi saya memaksa agar mata saya tetap terjaga. Bapak saya menonton seperti biasanya. Entah kesebelasan mana yang dibelanya. Saya pikir tak ada, tapi ia selalu mendengus kesal setiap ada pemain yang gagal mencetak gol. Bapak yang lucu, penonton yang tak wajar.

Tak ada tanda-tanda bahwa ia mengantuk. Omelannya tak berhenti-henti. Kopi hitamnya sudah habis. Perihal minum kopi, bapak punya selera sendiri. Bubuk kopinya tak boleh diseduh dengan air panas, tapi harus dijerang bersama air panasnya. Kalau tak begitu, dia tak akan mau minum.

Akhirnya gol yang membuat mata segar kembali terjadi di awal menit 70-an. Sundulan Oliver Bierhoff yang lahir dari umpan Serginho itu membikin Milan bertambah angka. Sundulan Bierhoff memang sering menjadi sumber masalah, apalagi kalau sudah berhadapan satu lawan satu dengan kiper. Beberapa detik setelah mencetak gol, ia berlari-lari ke arah tribun Curva Sud sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuk kanannya. Semacam gaya andalan saat selebrasi. Bapak dan saya sontak berteriak senang. Tapi beberapa saat setelah kami bersenang-senang, saya malah menimbang-nimbang apa yang sebenarnya membikin bapak senang bukan kepalang. Toh dia tak menyukai Milan.

Kesenangan saya tak bertahan lebih dari 5 menit. Umpan jauh Di Matteo ditangkap dengan sempurna oleh Dennis Wise. Ia mencetak gol! Chelsea hanya butuh waktu tiga-empat menit untuk menyamakan kedudukan, padahal ada Maldini yang menempel ketat. Saya pikir waktu itu ia menganggap remeh Wise. Dia pikir Dennis Wise tak akan sanggup mencetak gol. Saya mendengus kesal bukan hanya karena gawang yang dijaga Abbiati kebobolan, tapi karena Maldini yang jadi pemain favorit saya membikin kesalahan yang tak sepele. Saya jengkel. Saya melihat ke arah bapak. Ia tertawa-tawa, bertepuk tangan dan mengolok Maldini. Sekarang saya tak hanya kesal dengan Milan, saya juga kesal dengan bapak.

Pertandingan itu berakhir seri. Saya tak suka dengan hasilnya. Milan tak mungkin lolos ke fase selenjutnya. Beberapa menit setelah menonton tayangan komentator, bapak memutuskan untuk tidur. Dia bilang dia sudah mengantuk, dia menyuruh saya mematikan televisi dan juga pergi tidur. Untuk ukuran bapak, jam sebelas malam itu belum malam-malam amat. Setahu saya, walau sudah masuk ke kamar dia tak akan tidur. Biasanya dia mempersiapkan diri untuk jam kerja besok. Kalaupun tidak, biasanya dia membaca-baca Alkitab atau menulis-nulis di agenda dengan bolpoin berwarna hijau. Saya tak paham mengapa bapak suka menulis dengan bolpoin hijau. Barangkali itu menjadi ciri khasnya. Untuk dokumen-dokumen kantor pun ia kerap menulis dengan tinta berwarna hijau –ya maklum saja, waktu itu penggunaan komputer belum terlalu umum. Dibandingkan mengetik dengan komputer, bapak lebih senang menulis dengan tangan. Dengan tinta hijau dan tulisan miring serupa kepunyaan dokter.

Setiap mengenang fragmen ini, saya juga terkenang-kenang dengan perasaan ganjil saat dikabari ibu perihal kematian bapak yang tiba-tiba. Bapak meninggal sore harinya. Ternyata, pertandingan itu jadi pertandingan terakhir kami.

Beberapa tahun belakangan, terutama sejak tinggal di Bandung, saya sering mengingat-ingat kematian bapak. Barangkali karena kota ini tempat bapak saya menghabiskan masa kecilnya. Kenang-kenangan saya tentang kematian bapak sering membikin saya teringat akan permintaan terakhir saya ke bapak. Tiga hari menjelang hari kematiannya, saya menerima rapor. Waktu itu saya baru duduk di kelas 1 SMP dan itu rapor pertama saya. Predikat nilai tertinggi di sekolah membikin saya senang. Saya menelepon bapak karena saya tahu ia juga bakal senang. Dan ia benar-benar senang. Dia bilang saya boleh meminta apapun sebagai hadiah.

Abang saya meminta sepeda, bapak setuju. Setelah mendengar permintaan abang, bapak menanyakan permintaan saya. Saya bilang saya tak mau sepeda. Saya bilang padanya saya mau baju bola. Kostumnya Milan, lengkap dengan nomor punggung 3 dan nama Maldini. Bapak saya tertawa-tawa di seberang telepon mendengar permintaan saya. Kata teman-teman kantornya, dia menceritakan permintaan saya ini kepada tim kerjanya. Orang-orang itu ikut tertawa. Bapak saya senang. Ia tak tahu bahwa ia tak pernah punya kesempatan untuk mengabulkan permintaan anak perempuannya itu.

Saya bukan orang yang gemar bereaksi berlebihan terhadap kematian. Saya pikir, kematian adalah salah satu hal terwajar yang terjadi pada manusia. Dan keberpihakan saya terhadap kematian sebagai perihal wajar ini sudah ada sejak dulu, bahkan sejak pertama kali diberi tahu bahwa bapak saya sudah meninggal.

Entah kebetulan atau tidak, tapi sayalah yang mengangkat telepon pertama kali saat ibu memberi kabar perihal kematian bapak. Kata dokter serangan jantung, kata orang-orang meninggalnya tak wajar.

Lantas, orang-orang datang beramai-ramai. Mereka menangisi jenazah bapak, lantas menghujani saya dan abang dengan belas kasihan. Mereka pikir saya masih terlalu kecil untuk jadi anak yang tak berbapak. Tapi boleh buat, kematian tak mengenal kanak, maut tak memandang renta. Saya tahu kematian bapak memang tiba-tiba dan tak ada satu orang pun yang siap dengan kematian, tapi saya tetap berusaha mengakrabi kematian bapak dan menerimanya sebagai sebentuk kewajaran yang cepat atau lambat memang akan datang menjumpai bapak.

Acara pemakaman bapak saya benar-benar ramai. Entah berapa banyak karangan bunga yang dikirim. Entah berapa orang pelayat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Ramai dan riuhnya mengingatkan saya tentang pertandingan terakhir yang kami tonton.

Namun persis kegaduhan pertandingan malam itu yang pada akhirnya harus selesai, segala hiruk-pikuk yang melekat pada bapak juga harus selesai tepat di hari kematiannya. Tak peduli sebanyak apapun orang yang mengantarkan bapak ke liang lahat, ia tetap harus meninggal sendirian. Kesendirian yang teramat sangat, yang tak bisa disingkirkan, yang tak dapat dilawan.

Bapak meninggal hari ini 17 tahun yang lalu. Dan tentang kematiannya, saya teringat kontemplasi seorang penulis yang berpesan: “Di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang, seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Ah, hidup manusia memang ada-ada saja.

Work

img_20161010_114750

I realize that work never gets as simple as Rihanna’s Work. Well yea, we know that song. And yes, it isn’t about working literally -that song talks about having sex. But having sex is verb phrase too. Ha.

Talking about work, it doesn’t require long time for me to love my job. I always love my job, I love working. Being someone useless is my biggest fear. That’s why I have no problem at pushing my self to work harder than others. I even got overtime until 1.00 AM at my first day working on here. Give me ton of worksheets or abnormal overtime, I’ll face everything fiercely. I can be a loyal cyborg at work. And yes, I always be.

But lately work has been completely exhausting. It’s kinda ironic because I just got promotion. I’ve indeed still been on transition phase -someone I replace hasn’t fully resigned yet. But I think it’s normal and it has to be like this. Well, unless you’re fired, you have to finish your works first -including knowledge and responsibility transfer- before leaving the company.

This promotion is totally promising, kinda top managerial. I know I’m not working on giant company, it’s still a startup. But even we’re still being startup, I’m absolutely sure that we have big potential. We’ve earned a lot. While lot of startup companies rely themselves on investors, we make money. We’ve been multinational company. There’re some problems here, but I completely agree that everything alive has problems.

What makes me exhausted is more like insecurity problem. Everything about this job just feels too much. I think my insecurity is logical. I don’t have compatible background. I’m not someone with high education degree. I have problems at communication and temper -which become crucial at leadership. I struggle with my bad habit, something I still can’t make a deal with. And trust me, compared to another candidate I look like a piece of joke.

A few days ago, I heard a story about someone I’ve respected. He’s such a multiple leader. This story is about everything he has to face at leading a specific area. In this area he doesn’t begin something new, he relays a leadership someone started before. And you know, when you don’t begin something new, but just continue what has already existed, people will compare you to your precursors. Your burden won’t be your job only, but people expectation too. It’s so normal if you’re being underestimated because of it. But what makes it awesome is there’re some moments – not kinda good moment I guess – that precisely become his leadership affirmation. And right now, it gets me sure this leadership  is indeed gave for him.

This fact should encourage me. But instead of being embraced, I just feel worse. That’s his case, not mine. What if mine was an anomaly of his case? What if I became a reverse? I prayed before taking this decision. And yes there was something spinning around in my mind that told me to take it. But what if this thing wasn’t coming from him I pray to? What if it was just my mind? What if it was a wrong thing? What if I shouldn’t take it because it wasn’t for me? It looks promising indeed, but the fact is I don’t have enough influence here. Those candidates look like can take over everything. It even feels like I really want to shoot someone right in his head because he doesn’t even report me anything he works on. I’m a flexible person, but I’m not God who knows everything he did without saying it all.

And a day after my boss told me that I was just doing something unnecessary -though I thought that was him who asked me to do it- I accidentally admit something. I guess I just make everything I don’t have as a golden calf which becomes a barrier for me to experience something new.

What if my case was indeed different from his (that multiple leader) case? Well, what is wrong about being different? What if this leadership or position or job or whatever was something I had to earn not take? What if it was a time for me to pull up my big-girl pants* and make a deal with it?

Then yes, this fact just got me a question: How can this leadership work if instead of making this person give me a report, the only thing I can do is creating a will to shoot him right in his head? Hell.

I think it isn’t about them who refuse me, it’s about me who can’t stand up for myself. It isn’t about something I don’t have, it’s about the wrong perspective. I guess it isn’t my boss who becomes wishy-washy about his order, it’s me who can’t choose what matters the most. It isn’t about being passionate anymore, it’s just about getting jealous. Something only produces bitterness, causes me to feel even live small. Another hell.

And yea, it is true that I could be wrong. It could be just what I wanted not what he wanted. But above all those horrible possibilities, I guess there’s one thing I have to keep: He has been good God to me. If I had been wrong for taking this job, as much as I’m sure I already asked him, I’m sure he would tell me about it.

*Pulling up big-girl pants is kinda idiom that is used to say “Grow up, move on and be mature!” A complete package, yea.