Raharja

r

Raharja sedang melukis. Ia bermain-main dengan warna dan tak peduli pada sekitar.

Hari itu sudah hampir malam, namun jalanan Braga masih sibuk dengan orang-orang yang sibuk. Mereka berjalan-jalan tanpa tujuan pasti, celingak-celinguk kiri kanan entah mencari apa. Tak tahu ada berapa banyak orang yang berhenti sejenak di tiang-tiang lampu dan pintu-pintu kafe yang mereka anggap menarik. Satu demi satu mereka berganti gaya. Kadang menatap kamera, kadang tak menghadap kamera walau semua orang tahu kalau mereka sadar penuh akan keberadaan kamera. Aku tersenyum geli. Tapi itulah mereka, tapi itulah kita.

Raharja yang kutemui waktu itu adalah seorang pelukis jalanan. Kalau dikira-kira, usianya 50 tahunan. Dandanannya eksentrik, khas seniman. Ia dan lukisan-lukisannya duduk di depan toko masakan Jepang. Waktu itu jarinya menjepit sebatang rokok. Sepengetahuanku rokok yang seperti itu pasti bermerk Dji Sam Soe. Bapak dulu menyulut rokok yang sama. Dan aku suka melihat bapak merokok. Lalu aku rindu bau rokok yang kerap jadi kesukaan bapak.

Raharja duduk di sana, ada seorang juru parkir yang juga duduk-duduk di dekatnya. Ia menggambar garis-garis penting dan tak penting. Satu per satu garis-garis yang penting itu dibiarkannya tinggal di sana. Sementara yang lain, yang tak penting barangkali, dihapusnya tanpa sisa. Ia menghapusnya dengan bersegera, sampai pada akhirnya yang tertinggal di kanvas adalah yang penting-penting saja.

Kutanya Raharja soal garis-garis tak penting tadi. Mengapa ia repot-repot menggambarnya kalau toh pada akhirnya harus dihapus juga. Dia berhenti sejenak. Terkekeh tanpa lelucon. Barangkali ia mengejek. Barangkali ia tak percaya bagaimana pertanyaan semacam itu bisa keluar dari mulutku. Tapi tak masalah, karena aku juga tak merasa diejek. Dan bukankah terkadang ada hal-hal baik yang lahir dari ketidakpercayaan?

Pertanyaanku tak dijawabnya. Ia tetap sibuk dengan lukisan-lukisannya. Dasar seniman! Tapi aku juga tak terganggu dengan diamnya Raharja. Lalu aku menyadari bahwa garis-garis tak penting itulah yang membikin sejumlah garis menjadi penting. Tanpa garis-garis tak penting, garis-garis penting itu hanya akan menjadi garis biasa. Barangkali tanpa garis-garis yang hanya digambar untuk dihapus, garis-garis penting tak akan pernah tahu bahwa ia hadir untuk menjadi rangka atas lukisan-lukisan Raharja.

Yang kulihat Raharja tetap melukis. Ia bercerita tentang ia yang mau menjadi pelukis sejak kanak. Ia tak pernah menyebutkan apa yang membikinnya mau untuk menjadi pelukis dan apa yang membikin lukisan menjadi begitu penting untuknya. Lantas aku teringat tentang ucapan seorang penulis. Katanya apa-apa yang penting itu akan tetap penting walaupun tak diimbuhi apa-apa. Dia penting dengan sendirinya, penting dengan apa adanya. Barangkali Raharja juga seperti itu.

Aku mengalihkan pandang ke salah satu lukisan Raharja. Ia menceritakan sekumpulan ibu-ibu yang sedang memanen padi. Kalau tidak 5, jumlahnya pasti 6 orang. Langitnya dilukis senada dengan warna padi-padi yang sudah menguning. Aku jadi bertanya-tanya, apa padi yang siap dituai itu memang menguning seperti itu? Setahuku warnanya memang kekuningan. Tapi kuningnya bukan kuning keemas-emasan yang dilukis Raharja. Entah bagaimana cara membuat warna kuning emas seperti itu.

Raharja diam. Ia tak menyadari pertanyaan bodoh yang berputar-putar dalam kepalaku. Tapi ia tahu aku sedang mengamat-amati salah satu lukisannya. Sejenak, matanya ia tikamkan lekat-lekat pada lukisan yang kupertanyakan kewajarannya itu. Namun Raharja tetap diam. Yang tak diam hanyalah jari-jarinya yang tetap melukis walau diperberat dengan sejumlah cincin batu akik. Dia juga memakai kalung warna perak. Entah perak sungguhan, entah perak-perakan. Ah, peduli amat. Aku cuma suka jaket kulitnya. Ia terlihat serasi dengan rambut panjang Raharja yang sudah memutih.

Raharja pelukis dan aku menulis. Kami sama-sama mengarang. Kami mengarang kesenangan kami masing-masing. Lalu aku paham bahwa padi yang dilukis dengan warna kuning keemasan itu adalah karangan Raharja yang entah bagaimana caranya menjadi kesenangan buatnya.

Aku memilih-milih lukisan Raharja yang ingin kubeli agar aku punya sebuhul kesenangan yang sempat lahir dari padanya. Raharja memilihkan lukisan bunga tulip. Aku sendiri tak tahu alasannya. Ia seolah tak mengizinkanku untuk tahu karena ia tak bilang apa-apa. Lukisan itu biasa saja. Ada 8 kuntum bunga tulip. Warnanya ada 3: merah, kuning dan jambon (merah muda). Batangnya menyatu dengan daunnya. Sama-sama warna hijau tua, biarpun tak tua-tua amat. Benar-benar biasa, walaupun kata ibuku lukisan itu terlihat seperti asli. Tapi kawan, aku terlalu sering menyukai hal yang biasa-biasa saja.

xxx

Pertengahan Mei ini aku kembali mencari Raharja. Jalanan Braga makin penuh sesak. Maklumlah, hari itu hari libur walaupun masih hari Kamis. Orang-orang lalu-lalang sambil berfoto di sana-sini. Tanganku memegang kanvas yang kubawa dari rumah. Aku ingin Raharja melukis di atasnya. Lukisan yang ganjil, lukisan yang samar-samar atau bahkan lukisan yang gelap dan suram. Tapi sampai hari ini, aku tak bisa menemukan Raharja.

Lukisan Raharja yang dulu kubeli itu kutempel di dinding tepat di hadapan tempat tidur. Kutempel begitu saja tanpa bingkai. Permukaannya kasar dan aku gemar menyentuhkan telapak tanganku ke atasnya. Bila aku menatapnya lama-lama, aku pasti terjebak dalam kesenangan yang tak pernah meluntur. Pasti Tuhan memberikannya untukku karena aku sering lupa bahwa kesenangan adalah jatah buat setiap orang yang masih hidup.

Tulisan ini juga ada di Kumparan.