Gerrard Sebagai Komedi

Jika dalam sandiwaranya yang berjudul As You Like It Shakespeare menulis bahwa seluruh dunia adalah panggung, maka Steven Gerrard adalah lakon yang dapat membikin penontonnya tertawa.

Gelak tawa para penyaksi tak berhenti sampai hampir pada tahun ketujuh belas, walau tak tahu pasti sejak kapan tawa itu dimulai. Gerrard ada di atas panggung komedi. Komedi yang farce – yang seronok, yang membuat penontonnya terpingkal-pingkal.

Komedi farce yang pada era 1960-an pernah disepadankan oleh mendiang Motinggo Busye sebagai banyolan dapat diartikan sebagai lelucon atau jenis drama lucu yang dibedakan dari komedi biasanya karena cenderung lebih memperhatikan plot dibandingkan perwatakan. Jika melihat dari sejarahnya, farce, seperti halnya drama di awal tarikh Masehi sering dijadikan sebagai selingan pada saat menyampaikan pesan-pesan serius mengenai keselamatan dalam liturgi gereja. Fungsinya ini memang sesuai dengan asal katanya  ‘farcire’, yang bermakna memasukkan hal-hal yang cenderung memberi rasa senang.

Bagi seorang dramawan ataupun pelakon komedi farce, kemampuan untuk meramu situasi yang sangat lucu adalah segalanya. Berbeda dengan drama yang lain, farce tidak pernah berusaha untuk menciptakan tokoh atau karakter tertentu – ia berusaha untuk menciptakan situasi. Situasi yang didramakanlah yang harus memancing gelak tawa para penonton. Secara kasat mata, tertawa memang aktivitas yang mudah untuk dilakukan. Ia tak serumit belajar atau sekhusyuk merenung – tapi coba ingat-ingat lagi, ada berapa banyak situasi yang begitu melekat pada ingatan karena menimbulkan tawa.

Lahir di Inggris – negara yang juga menjadi tanah air dramawan legendaris William Shakespeare – Steven Gerrard memang menjadi pelaku farce ulung. Laiknya seorang jenius farce, Steven Gerrard sadar bahwa tertawa yang laras dalam koridor komedi adalah tertawa yang dapat menelanjangi kebodohan, kesalahan dan kelemahan yang ada dalam setiap orang lewat situasi yang ia ciptakan di atas panggungnya – dan jika berbicara soal Gerrard, maka Liverpool adalah panggung.

Membicarakan komedi apalagi jika sadar bahwa kita masih hidup di negeri ini mau tak mau akan membawa kita kepada fenomena sajian komedi yang hanya menertawakan orang lain. Komedi yang hidup bahkan  menjamur di sini adalah komedi yang cenderung menjadikan “cacatnya” orang lain sebagai hiburan – biasanya model yang diangkat sebagai tertawan adalah lakon-lakon pria yang kewanita-wanitaan – sehingga seolah-olah yang menertawakan adalah orang-orang yang bebas dari “cacat”, bebas dari kekurangan.

Sandiwara berjudul The Comedy of Errors milik Shakespeare adalah contoh farce yang perlu diingat. Alurnya biasa saja, bercerita tentang dua pasang orang berwajah sama dan bernama mirip yang memiliki seorang pelayan dan berada di satu kota sama. Mereka berdua masing-masing memiliki saudara kembar. Kembar identik yang juga memiliki pelayan yang mirip dengan pelayan dua pasang orang pertama. Pada intinya drama ini menceritakan tingkat kesalahan dan kebodohan manusia yang nyata dalam kehidupan. Sehingga dengan menonton dan menertawakan adegan-adegan dalam drama ini, penonton pun sebenarnya sedang menertawakan setiap kesalahan dan kebodohan yang ada pada mereka.

Di atas panggung Liverpool, ada banyak situasi yang diciptakan Gerrard lewat lakonnya. Lakonnya sebagai legenda hidup, lakonnya sebagai pesepak bola yang telah enam kali meraih penghargaan sebagai pemain terbaik Premier League, lakonnya sebagai pesepak bola yang mencetak seratus delapan puluh gol bagi Liverpool namun belum pernah sekalipun mengangkat trofi Premier League.

Sekali lagi, farce tak bertujuan untuk menertawakan tokoh – ia bertujuan untuk menertawakan situasi. Lantas, sebagai pelakon farce panggung Liverpool, apa yang harusnya ditertawakan, apa yang harus ditelanjangi lewat tawa atas situasi yang diciptakan oleh Gerrard?

Gerrard sebagai aktor dari komedi farce yang dimainkannya memang kerap mengundang gelak tawa. Ia bukan pesepak bola sembarangan. Ia tak hanya menjadi bintang Liverpool – ia adalah pesepak bola yang memimpin Liverpool, terlebih lagi, ia adalah pesepak bola yang besar di Liverpool. Prestasinya juga tak sembarangan. Pesepak bola yang menyumbang sebelas trofi bagi klubnya tentulah bukan pesepak bola asal jadi dan asal tampan. Namun, atas satu hal yang sampai hari ini belum bisa diraihnya – ia menjadi tertawaan banyak penikmat sepak bola. Selebrasi mencium kameranya tentulah menjadi objek lelucon yang menyenangkan. Foto aksi mengangkat trofi Premier League dari pesepak bola yang menjadi rival klubnya yang dibubuhi tulisan seolah-olah sang rival sedang memaksa Gerrard untuk melihat baik-baik apa yang sedang diangkatnya tentulah menjadi banyolan segar yang entah berapa kali muncul di dunia maya.

Gerrard adalah ironi. Di satu sisi begitu mendamba trofi Premier League, di satu sisi ia sendiri pula yang membikin usaha untuk mewujudkan ambisinya berantakan lewat insiden terpleset yang termahsyur itu. Insiden yang terlihat sepele namun selalu diandai-andaikan agar tak terjadi.

Dalam esainya yang berjudul “Lantas, Apa Salahnya Ketawa?” Remy Sylado menjelaskan bagaimana komedi yang sebenarnya. Menurutnya, apa yang harus dimiliki oleh aktor dan aktris komedi – bukan pelawak – adalah kemampuan untuk menafsir naskah dengan menggunakan tubuhnya untuk menjadikannya sebagai seni peran yang presentasional. Sebuah seni yang bekerja dengan memadukan kata-kata lucu dan gerak-gerik jenaka yang dapat menjungkirbalikkan sebuah doktrin yang terlanjur menancap dalam kepala setiap orang. Misalnya, sadar atau tidak sadar, kita kerap didoktrin tentang menakutkannya sebuah kesalahan. Kesalahan sedikit bisa meluluhlantakkan apa selama ini dibangun dengan susah payah. Namun dalam komedi, kesalahan adalah hal yang paling sering ditertawakan. Sehingga bolehlah disimpulkan bahwa komedi yang paling laras itu adalah komedi mempertontonkan sebuah pertunjukan di mana aktor dan aktris yang ditertawakan oleh para penontonnya karena apa yang dibuatnya di atas panggung harus menjadi gambaran dari semua orang yang menonton pertunjukan itu. Komedi yang seharusnya bukanlah komedi yang menyajikan hal-hal yang membuat penontonnya menertawakan aktor dan aktrisnya semata, tetapi menertawakan kesalahan, kebebalan ataupun kebodohannya sendiri – menertawakan apa yang sebenarnya ada dalam hidup si penonton.

Sosok Gerrard yang entah sejak kapan menjadi begitu karikatural dan cepat memprovokasi gelak tawa, secara teori seharusnya menjadi wajah dari sepak bola itu sendiri. Jika selebrasi mencium kameranya mengundang olok-olok dengan dalih bahwa yang bisa diciumnya hanyalah kamera bukan trofi Premier League – barangkali sebagai aktor farce, Gerrard ingin menunjukkan bahwa seperti itulah sepak bola. Terkadang tak semua gelar bisa direbut. Ada begitu banyak kompetisi, ada begitu banyak peluang, ada begitu banyak kesempatan – namun yang namanya peluang, tentulah tak semuanya bisa berhasil diraih. Insiden terpeleset atau jadwal panjang duduk di bangku cadangan yang kerap menjadi bahan humor itu seharusnya menjadi gambaran bahwa sehebat apapun seorang pesepak bola, akan tiba masanya saat ia tak lagi menjadi pesepak bola yang istimewa. Gerrard mempertontonkan sebuah adegan saat superioritas seorang pesepak bola harus takluk oleh insiden terpeleset di lapangan. Gerrard sedang membawa para penontonnya untuk menyaksikan sebuah plot yang di mulai dari saat ia yang begitu akrab dengan lapangan dan puja-puja para penggemar sampai saat bangku cadangan dan olok-olok yang menjadi karibnya. Para penonton tertawa, terbahak-bahak sampai sakit perut.

Menyimpulkan perkataan Remy Sylado, jika tawa yang disajikan Semar, Petruk, Gareng ataupun Bagong sedikit banyak membantu Sunan Kalijaga dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa – maka Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, David De Gea, Manuel Neuer, Andrea Pirlo pun berutang banyak atas setiap gelak tawa yang ditujukan buat Steven Gerrard, gelak tawa yang sedikit banyak mengingatkan kalau akan tiba masanya mereka tak lagi jadi pesepak bola istimewa.

Tulisan ini pernah tayang di portal yang sekarang sudah jadi mendiang, ditulis saat Gerrard memutuskan hengkang dari ranah sepak bola Inggris.

Pertandingan Terakhir Bapak

article-2384587-0021142e00000258-740_634x403

 

Malam terakhir bersama bapak saya habiskan dengan menonton sepak bola.

Pertandingan itu dimulai sekitar jam 9 malam. Walau bukan final, ini pertandingan penting. Milan melawan Chelsea. Piala Champion. Ini pertandingan kelima Milan di babak penyisihan grup. Sebelumnya Milan baru menang 1 kali, kalah 1 kali dan seri 2 kali. Mereka ketinggalan 1 poin dari Hertha Berliner yang jadi peringkat kedua. Perkara sepak bola memang sering mengesalkan seperti ini.

Karena pertandingan dimulai saat belum malam-malam amat, saya dan bapak sepakat untuk makan di kedai bakmi langganan dulu. Kami berdua memang gemar makan bakmi. Rasanya mau sebanyak apapun, bakmi-bakmi dalam mangkok itu akan selalu habis bila berhadapan dengan kami berdua.

Bapak yang pertama kali mengajari saya menonton sepak bola. Di mata ibu saya, dia serupa kompor yang gemar memanas-manasi anak perempuannya supaya ikut menyukai sepak bola. Saya ingat tumpukan tabloid Bola yang kerap dibelikannya dengan senang hati. Begitu pula dengan majalah Liga Italia yang kalau tidak salah terbit dua kali sebulan. Harganya dulu 20 ribu, terbilang mahal untuk ukuran zaman itu. Tapi toh, bapak saya senang-senang saja setiap membelikannya buat saya.

Sejak gemar menonton dan bermain sepak bola bersama bapak, saya sering dihadiahi barang-barang yang berbau sepak bola. Mulai dari bacaan sampai kostum sepak bola. Saya ingat kostum pertama saya: Fiorentina warna ungu terang dengan nama Batistuta di bagian punggungnya. Ibu saya sering jengah bila melihat saya mengenakan kostum itu. Dia tak senang. Selain warnanya yang kelewat mencolok, kata ibu itu bukan baju buat perempuan.

Berbeda dengan bapak yang merupakan penggemar Manchester United, saya menyukai AC Milan. Ceritanya sederhana, pertandingan sepak bola pertama saya adalah saat Milan bertandang ke kandang Bologna. Sumringahnya bukan main saat pertama kali saya mengiyakan ajakannya menonton sepak bola.

Walau tak menyukai AC Milan, bapak saya senang-senang saja kalau harus menemani saya menonton. Dia pula yang memberikan lampu hijau untuk menonton pertandingan dini hari walau paginya saya harus bersekolah. Bapak saya pula yang berinisiatif untuk mengizinkan saya memiliki televisi butut di kamar. Biar kalau dia sedang tugas di luar kota, saya tak perlu menonton sendirian di ruang keluarga.

Namun demikian, pertandingan tengah malam yang boleh saya saksikan saat tak libur hanya pertandingan-pertandingan tertentu. Hanya pertandingan Milan dan laga akbar di Piala Champion. Pernah sekali waktu saya melanggar aturan ini. Saya lupa pertandingan siapa, tapi yang jelas saya benar-benar ingin menontonnya. Pintu kamar saya kunci, lampu kamar tidak saya hidupkan, suara televisi saya matikan. Saya seperti menonton pertandingan bisu. Kurang pas, tapi yang penting bisa menonton.

Pertandingan itu selesai hampir sekitar jam setengah 5 pagi. Ibu saya biasa bangun jam segitu. Beberapa saat sebelum pertandingan selesai, televisi saya matikan dan pintu tidak saya kunci lagi. Saya pikir ini antisipasi yang baik kalau ibu saya tiba-tiba bangun. Tapi agaknya, orang tua selalu tahu jika anaknya berbohong. Ibu saya tahu saya pura-pura tidur. Dia memang tidak membangunkan saya, tapi dia memegang permukaan televisi di kamar saya. Bisa ditebak, pasti hangat. Apa boleh bikin, tipuan saya memang masih amatiran. Saya ketahuan melanggar aturan menonton sepak bola. Tapi bapak saya tetap tak marah.

Pertandingan malam itu lumayan mengundang kantuk. Tapi saya memaksa agar mata saya tetap terjaga. Bapak saya menonton seperti biasanya. Entah kesebelasan mana yang dibelanya. Saya pikir tak ada, tapi ia selalu mendengus kesal setiap ada pemain yang gagal mencetak gol. Bapak yang lucu, penonton yang tak wajar.

Tak ada tanda-tanda bahwa ia mengantuk. Omelannya tak berhenti-henti. Kopi hitamnya sudah habis. Perihal minum kopi, bapak punya selera sendiri. Bubuk kopinya tak boleh diseduh dengan air panas, tapi harus dijerang bersama air panasnya. Kalau tak begitu, dia tak akan mau minum.

Akhirnya gol yang membuat mata segar kembali terjadi di awal menit 70-an. Sundulan Oliver Bierhoff yang lahir dari umpan Serginho itu membikin Milan bertambah angka. Sundulan Bierhoff memang sering menjadi sumber masalah, apalagi kalau sudah berhadapan satu lawan satu dengan kiper. Beberapa detik setelah mencetak gol, ia berlari-lari ke arah tribun Curva Sud sambil menunjuk-nunjuk dengan telunjuk kanannya. Semacam gaya andalan saat selebrasi. Bapak dan saya sontak berteriak senang. Tapi beberapa saat setelah kami bersenang-senang, saya malah menimbang-nimbang apa yang sebenarnya membikin bapak senang bukan kepalang. Toh dia tak menyukai Milan.

Kesenangan saya tak bertahan lebih dari 5 menit. Umpan jauh Di Matteo ditangkap dengan sempurna oleh Dennis Wise. Ia mencetak gol! Chelsea hanya butuh waktu tiga-empat menit untuk menyamakan kedudukan, padahal ada Maldini yang menempel ketat. Saya pikir waktu itu ia menganggap remeh Wise. Dia pikir Dennis Wise tak akan sanggup mencetak gol. Saya mendengus kesal bukan hanya karena gawang yang dijaga Abbiati kebobolan, tapi karena Maldini yang jadi pemain favorit saya membikin kesalahan yang tak sepele. Saya jengkel. Saya melihat ke arah bapak. Ia tertawa-tawa, bertepuk tangan dan mengolok Maldini. Sekarang saya tak hanya kesal dengan Milan, saya juga kesal dengan bapak.

Pertandingan itu berakhir seri. Saya tak suka dengan hasilnya. Milan tak mungkin lolos ke fase selenjutnya. Beberapa menit setelah menonton tayangan komentator, bapak memutuskan untuk tidur. Dia bilang dia sudah mengantuk, dia menyuruh saya mematikan televisi dan juga pergi tidur. Untuk ukuran bapak, jam sebelas malam itu belum malam-malam amat. Setahu saya, walau sudah masuk ke kamar dia tak akan tidur. Biasanya dia mempersiapkan diri untuk jam kerja besok. Kalaupun tidak, biasanya dia membaca-baca Alkitab atau menulis-nulis di agenda dengan bolpoin berwarna hijau. Saya tak paham mengapa bapak suka menulis dengan bolpoin hijau. Barangkali itu menjadi ciri khasnya. Untuk dokumen-dokumen kantor pun ia kerap menulis dengan tinta berwarna hijau –ya maklum saja, waktu itu penggunaan komputer belum terlalu umum. Dibandingkan mengetik dengan komputer, bapak lebih senang menulis dengan tangan. Dengan tinta hijau dan tulisan miring serupa kepunyaan dokter.

Setiap mengenang fragmen ini, saya juga terkenang-kenang dengan perasaan ganjil saat dikabari ibu perihal kematian bapak yang tiba-tiba. Bapak meninggal sore harinya. Ternyata, pertandingan itu jadi pertandingan terakhir kami.

Beberapa tahun belakangan, terutama sejak tinggal di Bandung, saya sering mengingat-ingat kematian bapak. Barangkali karena kota ini tempat bapak saya menghabiskan masa kecilnya. Kenang-kenangan saya tentang kematian bapak sering membikin saya teringat akan permintaan terakhir saya ke bapak. Tiga hari menjelang hari kematiannya, saya menerima rapor. Waktu itu saya baru duduk di kelas 1 SMP dan itu rapor pertama saya. Predikat nilai tertinggi di sekolah membikin saya senang. Saya menelepon bapak karena saya tahu ia juga bakal senang. Dan ia benar-benar senang. Dia bilang saya boleh meminta apapun sebagai hadiah.

Abang saya meminta sepeda, bapak setuju. Setelah mendengar permintaan abang, bapak menanyakan permintaan saya. Saya bilang saya tak mau sepeda. Saya bilang padanya saya mau baju bola. Kostumnya Milan, lengkap dengan nomor punggung 3 dan nama Maldini. Bapak saya tertawa-tawa di seberang telepon mendengar permintaan saya. Kata teman-teman kantornya, dia menceritakan permintaan saya ini kepada tim kerjanya. Orang-orang itu ikut tertawa. Bapak saya senang. Ia tak tahu bahwa ia tak pernah punya kesempatan untuk mengabulkan permintaan anak perempuannya itu.

Saya bukan orang yang gemar bereaksi berlebihan terhadap kematian. Saya pikir, kematian adalah salah satu hal terwajar yang terjadi pada manusia. Dan keberpihakan saya terhadap kematian sebagai perihal wajar ini sudah ada sejak dulu, bahkan sejak pertama kali diberi tahu bahwa bapak saya sudah meninggal.

Entah kebetulan atau tidak, tapi sayalah yang mengangkat telepon pertama kali saat ibu memberi kabar perihal kematian bapak. Kata dokter serangan jantung, kata orang-orang meninggalnya tak wajar.

Lantas, orang-orang datang beramai-ramai. Mereka menangisi jenazah bapak, lantas menghujani saya dan abang dengan belas kasihan. Mereka pikir saya masih terlalu kecil untuk jadi anak yang tak berbapak. Tapi boleh buat, kematian tak mengenal kanak, maut tak memandang renta. Saya tahu kematian bapak memang tiba-tiba dan tak ada satu orang pun yang siap dengan kematian, tapi saya tetap berusaha mengakrabi kematian bapak dan menerimanya sebagai sebentuk kewajaran yang cepat atau lambat memang akan datang menjumpai bapak.

Acara pemakaman bapak saya benar-benar ramai. Entah berapa banyak karangan bunga yang dikirim. Entah berapa orang pelayat yang datang untuk memberikan penghormatan terakhir. Ramai dan riuhnya mengingatkan saya tentang pertandingan terakhir yang kami tonton.

Namun persis kegaduhan pertandingan malam itu yang pada akhirnya harus selesai, segala hiruk-pikuk yang melekat pada bapak juga harus selesai tepat di hari kematiannya. Tak peduli sebanyak apapun orang yang mengantarkan bapak ke liang lahat, ia tetap harus meninggal sendirian. Kesendirian yang teramat sangat, yang tak bisa disingkirkan, yang tak dapat dilawan.

Bapak meninggal hari ini 17 tahun yang lalu. Dan tentang kematiannya, saya teringat kontemplasi seorang penulis yang berpesan: “Di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pada kembali pulang, seperti dunia dalam pasar malam. Seorang-seorang mereka datang dan pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana.”

Ah, hidup manusia memang ada-ada saja.

Sandal Jepit Milan

Di antara tumpukan kostum keramat, deretan sepatu tiga garis atau bertanda centang, terselip cerita tentang sandal jepit di kota Milan. Barangkali bentuknya buruk, tapi toh ia tetap dicari apalagi saat kaki sudah lelah atas keharusan untuk memakai sepatu-sepatu mahal itu.

“Aku akan merombak hirarki dan bertindak tegas terhadap institusi serta memanggil Paolo Maldini,” begitulah kira-kira jawaban Zvonimir Boban atas pertanyaan apa yang akan dilakukannya seandainya ia dipanggil untuk bergabung dengan manajemen Milan.

Kekalahan 0-1 Milan atas Atalanta 18 Januari 2015 kemarin menjadi pecut tersendiri bagi Boban untuk kembali mengeluarkan kritikan keras yang menjadi ciri khasnya. Garangnya Boban tak hanya di lapangan, setelah pensiun sebagai pesepak bola pun ia tak berhenti menjadi sosok yang biasa dikenal di lapangan dulu.

Baginya Milan yang sekarang adalah kesebelasan yang diisi oleh pesepak bola – pesepak bola yang tidak tahu bagaimana caranya untuk bersepak bola dengan benar. Di sini tak bisa dijumpai lagi kesediaan untuk berjalan dua mil walau pada dasarnya berjalan satu mil sudah cukup. Bagi Boban, di sepanjang pertandingan, para penggawa itu bahkan tidak berlari laiknya pesepak bola berlari di lapangan – mereka hanya berlari-lari kecil. Milan yang sekarang adalah Milan yang bingung, Milan yang tak bisa membedakan antara siapa mereka dan mereka pikir mereka siapa.

Dan atas segala kebingungan, kebobrokan dan ketidakpantasan yang apa boleh bikin, saat ini sedang menimpa klub masa lalunya, Boban mengingat apa-apa yang dilakukan Maldini untuk Milan. Apa-apa yang menurut keyakinan dan pemahamannya selama sebelas tahun (walau musim 1991-1992 dan 2001-2002 Boban dipinjamkan ke Bari dan Celta Vigo) tidak akan berubah biarpun Maldini tak lagi merumput sebagai pesepak bola profesional.

Bagi Milan, Maldini adalah legenda yang menjadi tabu. Curva Sud Milano tak menyukainya. Di hadapan mereka, Maldini adalah sosok arogan. Ia dicap durhaka oleh mereka yang – katanya – menjadikan klub ini kaya raya.

24 Mei 2009, waktu itu Milan bertanding melawan Roma. Ini menjadi laga kesembilan ratus Maldini untuk Milan. Ini menjadi pertandingan terakhir Maldini untuk Milan di San Siro. Seharusnya hari itu menjadi manis laiknya laga perpisahan legenda lainnya. Seharusnya tangis haru ala pertandingan perpisahan tak hanya tampak dari Andrea Pirlo, seharusnya tak hanya para penggawa Roma yang mengenakan kaos bertuliskan “Terima Kasih, Paolo”, seharusnya yang berkibar megah dari tribun selatan bukanlah kostum raksasa Franco Baresi, seharusnya ini menjadi harinya Paolo Maldini.

Mereka yang mengatakan kebenaran memang tak digemari oleh mereka yang menganggap dirinya – selalu – benar. Kelompok pendukung garis keras sebuah kesebelasan adalah orang-orang kuat bagi klub tersebut. Kontribusi mereka terhadap klub memang patut diperhitungkan. Merekalah yang membeli tiket-tiket pertandingan, merekalah yang juga rela menggelontorkan uang untuk membeli berbagai macam produk penjualan partaian – kontribusi yang tentunya dapat membantu keuangan klub. Dan bukannya tak jarang walau tak semua, mereka yang merasa telah mengucurkan dana tak sedikit akan menghidupi mentalitas penguasa. Mereka tak bisa salah, mereka selalu menjadi yang tak terbantahkan.

Konon, perseteruan Maldini dan Curva Sud Milano pun bermula dari hal-hal semacam itu. Cerita Istanbul tahun 2005 tak hanya diakhiri dengan kekalahan Milan yang termahsyur itu. Akhir ceritanya juga menjadi manifestasi tumbukan antara kepahlawanan dan kekurangajaran Maldini di mata kelompok pendukung garis keras. Kabarnya, sebelum final Piala Champion 2005 itu, Curva Sud Milano menjual sisa jatah tiket mereka kepada pendukung Liverpool dengan harga yang lebih mahal. Menurut Maldini, seharusnya tiket-tiket tadi dijual kepada sesama Milanisti walau dengan harga yang standar. Baginya, Curva Sud Milano adalah kelompok pencinta uang belaka. Karena itu pula, ia menolak untuk meminta maaf kepada mereka saat dihampiri oleh beberapa orang anggota Curva Sud Milano di bandara Malpensa seusai pertandingan.

Maldini yang lagi-lagi memimpin Milan saat melangkah ke putaran final Piala Champion 2007 bersikukuh untuk tak ikut campur atas sejumlah hal yang dihadapi kelompok pendukung garis keras tadi. Termasuk saat kelompok ultras ini bermasalah dengan polisi di Athena. Curva Sud Milano kecewa, mereka memboikot pertandingan Super Eropa kontra Sevilla dan memutuskan untuk tak menghadiri sejumlah laga kandang pada musim 2007-2008.  Kabarnya, jauh sebelum dua insiden ini terjadi, Maldini dan Curva Sud Milano memang tak akur. Dulu pada musim 1997-1998 saat Maldini baru enam bulan menjabat sebagai kapten, kelompok ini membentangkan banner yang bertuliskan “Kurangi Hollywood dan Perbanyak Kerja Keras” di depan rumahnya. Sebagai catatan, Hollywood adalah nama tempat hiburan malam di Milan yang sering menjadi tujuan piknik bagi Maldini dan teman-teman setimnya.

Kelompok pendukung garis keras tentu memiliki posisi tawar yang kuat terhadap klub. Mereka adalah pasar sasaran bagi klub sebagai perusahaan yang menggeluti bisnis di ranah sepak bola. Makanya, jika tak dapat dibereskan seberes-beresnya, segala kebobrokan harus ditutupi. Wajah yang bopeng yang itu harus didempul tebal, debu yang mengotori lantai itu harus disembunyikan di balik karpet. Apapun, agar kelompok garis keras yang memperkaya klub itu tak lari atau tak marah lantas memaksa mundur mereka yang duduk di singgasana manajemen. Biarpun Franco Baresi dan Mauro Tassoti yang menjadi rekan setimnya dulu saat ini bergabung di manajemen, wajarlah jika sampai saat ini ajakan agar Maldini bergabung di klub hanyalah sebatas wacana. Basa-basi dunia bisnis belaka.

Bagi kedua pihak penguasa Milan, Maldini memang tak punya tempat – namun bagi dia yang pernah bersakit-sakit di atas lapangan demi kebesaran sepak bola Milan – Maldini selalu menjadi orang yang diharapkan agar segera bergabung dan menjadi ujung tombak untuk mengangkat segala penyakit yang menggerogoti Milan.

Ada satu tulisan dari Seno Gumira Ajidarma yang bercerita tentang sandal jepit yang kerap digunakan oleh para pekerja kantoran. Memang dalam etika perkantoran dan segala hal di antaranya, sandal jepit tak akan ditemukan di dalamnya. Sepatu dan pakaian yang pantas adalah busana wajib bagi mereka yang bekerja di kantor – agar sopan dan tak memalukan jika harus berhadapan dengan calon kolega bisnis serta para penyandang dana.

Dalam esai tersebut dijelaskan mengapa sandal jepit tetap ditemukan di bawah meja atau kubikel yang menjadi isi dari kawasan perkantoran mewah. Umumnya, sandal jepit digunakan oleh mereka yang tak betah memakai sepatu formal. Semahal-mahalnya sepatu, tentulah kenyamanannya tak akan pernah menang dari sandal jepit. Apalagi jika sepatu itu berhak tinggi, memang terlihat anggun – namun anggun-anggun melelahkan. Hal yang jujur saja, membuatku tak mau lagi membeli sepatu khusus perempuan – baik yang ditopang hak maupun yang beralas datar.

Formalitas dunia perkantoran mengajarkan bahkan memaksa para pekerjanya untuk rela dan berani menanggalkan kenyamanan. Di kantor, keberadaan karyawan harus memberikan citra baik bagi perusahaan, dilarang egois dan mengatasnamakan kepentingan termasuk kenyamanan pribadi. Makanya, sandal jepit selalu menjadi hal yang tersembunyi dalam kehidupan perkantoran.

Jika bagi para pekerja kantoran sandal jepit adalah wujud kejujuran atau pengakuan atas ketidakbetahan untuk memakai sepatu sebagai formalitas, maka dalam konteks sepak bola Milan lewat kacamata Boban, Maldini adalah sandal jepit itu sendiri.

Hakekat sandal jepit yang disimpan di bawah kubikel dan sepatu yang dikenakan saat kolega bisnis sedang berkunjung ke kantor adalah bukti kalau terkadang, barang-barang tak digunakan sesuai fungsi. Sepatu dalam konteks ini tak digunakan sebagai alas kaki, ia digunakan agar si pekerja kantoran terlihat tak memalukan dan tak menjatuhkan citra perusahaan saat ia berurusan dengan kolega.

Inzaghi adalah legenda yang dicintai oleh publik San Siro. Walaupun di akhir karir ia sempat menjadi lebih karib dengan bangku cadangan daripada lapangan hijau, pertandingan perpisahannya tetap berakhir manis. Apalagi ditambah dengan gol dan selebrasi emosional yang menjadi kebesarannya. Inzaghi pun dinilai punya kharisma sebagai salah satu modal yang dibutuhkan untuk menjadi pelatih. Ia terbilang sukses sebagai pelatih Milan Primavera.

Lantas yang menjadi pertanyaan, apa yang menjadi alasan manajemen berani mengambil risiko untuk menunjuk Inzaghi sebagai pengganti Seedorf, yang notabene masih sangat hijau pada ranah kepelatihan – apalagi di tengah-tengah kondisi yang membuat Milan lebih baik berhenti dulu menggembar-gemborkan gelar sebagai klub terbaik di dunia? Apakah karena Inzaghi memang berpotensi untuk menyelamatkan Milan dari kebobrokan atau karena Inzaghi dicintai oleh mereka yang membikin klub ini kaya raya?

Pada sejumlah pertandingan, Inzaghi memang sempat memberikan kejutan. Napoli dilumat 2-0 di San Siro, Roma berhasil ditahan imbang 0-0 di Olimpico, tim sekelas Real Madrid yang berada di bawah asuhan pelatih sejenius Don Carlo pun berhasil dikalahkan 4-2 beberapa hari setelah Boxing Day. Namun demikian, kejutan yang diberikan Super Pippo tak berhenti sampai di situ. Sempat dininabobokan oleh sejumlah hasil pertadingan yang tentunya terasa luar biasa jika mengingat kondisi Milan yang sekarang, Milan kembali tampil sebagai kesebelasan semenjana saat berhadapan dengan Sassuolo, Palermo dan Atalanta.

Kata Boban, kegagalan demi kegagalan yang ditelan oleh Milan tak hanya disebabkan oleh skuat yang tidak paham bagaimana caranya bersepak bola dengan benar. Pippo pun dianggap sebagai biang kerok, karena tak mampu memberikan ideologi yang benar pada persepakbolaan mereka.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat maupun kejadian, yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Jika kebutuhan akan konsep paling mendasar yang benar-benar berkorelasi dengan kelangsungan hidup Milan sebagai kesebelasan dan klub tidak dapat dipenuhi oleh pelatih yang notabene merupakan bagian dari keluarga besar manajemen, apakah keberadaan Inzaghi benar-benar diperlukan oleh Milan sekarang?

Sama seperti tak ada yang bisa menjamin kalau kesibukan Milan di bursa transfer kali ini akan memberikan perubahan terhadap penampilan di pertandingan-pertandingan berikutnya, tak ada pula yang sangup menjamin kalau Maldini benar-benar bisa menjadi orang yang tepat untuk merombak segala ketidakberesan yang bercokol di dalam tubuh Milan. Toh, semuanya masih dalam taraf pengandai-andaian jika Boban diberi kesempatan untuk menjadi pengganti Silvio Berlusconi. Namun adakah yang terlihat lebih menjanjikan dibandingkan dengan orang yang mulutnya tak bisa disumpal oleh mereka yang jelas-jelas memberikan kontribusi yang tak sedikit buat klub?

Barangkali jika apa yang dikatakan Boban benar-benar terjadi, jika Maldini benar-benar diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari manajemen – wajah Milan akan tampak buruk di hadapan koleganya. Ia akan serupa pekerja kantoran yang berbusana rapi dan profesional namun menggunakan sandal jepit sebagai alas kakinya saat menghadiri rapat dan melakoni presentasi di hadapan calon penyandang dana. Rupanya tak akan elok, karena kejujuran juga tak jarang membikin malu. Tapi sandal jepit yang buruk itu akan membuatnya bergerak leluasa, kakinya tak akan lecet karena dihimpit sepatu-sepatu mahal yang tak lagi bekerja sesuai fungsi.

Tulisan ini dulu tayang di Bolatotal yang sekarang sudah mendiang.

Teman Masa Kecil Bernama Totti

 

tottttttiiii
Sumber foto: EPA/Telegraph UK

Francesco Totti ini ibarat teman masa kecil yang tiba-tiba datang mengingatkan saya tentang masa silam yang tak mungkin datang kembali.

———–

Entah ada angin apa, yang jelas, sepulang kerja di akhir pekan ini saya bercermin cukup lama. Memperhatikan apa-apa saja yang sudah berubah. Mengingat-ingat kembali apa yang pernah ada di tubuh saya. Apa yang sekarang ada dan tak lagi ada yang ditunjukkan oleh pantulan cermin tadi mengingatkan saya tentang hal-hal zaman dulu yang tak mungkin terulang. Tentang nilai merah yang membikin takut, tentang pesona Doraemon yang mengalahkan kewajiban bersekolah Minggu. Tentu saja ada pesona sepak bola mula-mula. Dan saya mendapati Totti di antaranya.

Nama Francesco Totti melegenda di ranah lapangan hijau. Keberadaannya menjadi bukti bahwa terkadang usia tak cukup ampuh buat mematikan pesona seseorang. Usia Totti jelas tak lagi muda untuk ukuran pesepak bola, hari ini usianya sudah 39 tahun. Kebanyakan, pesepak bola pensiun di usia 35 tahun. Menjelang pensiun, mereka juga tak lagi menjadi andalan. Wajar, regenerasi memang mengharuskan pesepak bola gaek untuk memberikan tempatnya bagi pemain-pemain muda.

Kekonyolan Totti bukan soal usia dan kapasitasnya sebagai pesepak bola. Ia adalah pesohor lapangan hijau. Di kota Roma, apalagi buat klub yang dibelanya, nama Totti ibarat nama yang membuat orang-orang Majus rela datang dari tempat jauh dengan membawa barang-barang persembahan yang begitu mahal.

Kekonyolan Totti adalah kekonyolan yang menyenangkan. Mirip dengan masa kanak yang tak neko-neko dan tak dibuat-buat.

Keberadaan Totti di lapangan hijau tak sekadar sebagai pahlawan pencetak gol ataupun kapten penuh kharisma. Ia adalah pelawak yang gemar mengocehkan lelucon-lelucon yang terkadang justru terkesan garing.

Sekitar tahun 2003, terbit buku yang berjudul Tutte Barzellette su Totti (Raccolte da Me) yang bila diartikan menjadi Semua Lelucon tentang Totti (Dikumpulkan oleh Saya). Isi buku ini bukan pemikiran berat yang belakangan gemar muncul di ranah sepak bola. Ia berisi lelucon-lelucon yang keluar dari mulut Totti. Katanya, sebagian besar lelucon itu bahkan bisa ditemukan di internet. Dari sisi tujuan penerbitan, buku ini jelas bermakna penting. Hasil penjualannya disumbangkan untuk sejumlah  program kemanusiaan di berbagai negara. Namun bila melihat apa yang menjadi isinya, buku ini jelas bukan buku cerdas.

Konon, Totti pernah ditanyai wartawan menyoal penjualan bukunya yang mencapai empat ratusan ribu ekslempar. Alih-alih menjawab dengan serius, Totti justru membantahnya. Katanya begini; “Mana mungkin. Aku cuma menulis buku itu sekali.”  Sekali waktu, ia juga pernah ditanyai tentang tiga tahun tersulit yang pernah terjadi dalam hidupnya. Atas pertanyaan itu ia menjawab: “Kelas 1 SD.”

Simaklah pertanyaan jurnalis tentang prediksinya atas kemungkinan pertemuan Amerika Serikat dan Irak. Lantas, Totti kembali menjawab dengan kejenakaan khasnya; “Menurut saya Irak dan Amerika Serikat sama-sama negara yang indah, sama-sama mempersiapkan diri dengan matang, namun semua orang tahu bahwa hanya satu negara yang bisa menjuarai Piala Dunia.” Atau cerita saat ia menghubungi customer service. Operator dari panggilan tersebut mengatakan bahwa ia harus menekan angka 10 di ponselnya. Alih-alih menurut, ia malah balik bertanya; “Tapi tombol di telepon saya hanya sampai angka 9.”

Sepak bola, barangkali memang tak perlu menjadi hal jenaka. Namun, saya ingat apa yang jadi tujuan saya menonton sepak bola. Yang saya cari dari pertandingan sepak bola bukan kejeniusan taktik, kepintaran seorang pelatih dalam berkata-kata, tersihir dengan pesona fanatisme ataupun kerumitan politik-politik yang mengakar dalam sepak bola. Walaupun kita sama-sama tahu bahwa mustahil mengharapkan sepak bola lepas dari itu semua. Karena tanpa hal-hal tadi, sepak bola bakal menjadi hal yang cenderung basi –sebasi mading sekolah Cinta yang sudah terbit.

Seingat saya, yang saya cari dari sepak bola adalah kesenangannya. Sepak bola yang saya sukai adalah sepak bola yang sanggup membuat saya sejenak melupakan tenggat waktu dan target pekerjaan kantor. Sepak bola yang saya gemari adalah sepak bola yang bisa membikin saya girang sesaat dan melupakan tumpukan tanggung jawab sebagai seorang perempuan menjelang usia tiga puluhan.

Dulu, waktu saya menonton sepak bola saya bisa lupa sejenak dengan aneka PR dan tingkah menyebalkan seorang guru yang memang terkenal galak. Yang saya cari dari sepak bola itu bukan pemahaman taktik dan filosofi yang membikin kening berkerut, tapi keceriaan yang bisa mengalihkan pikiran dari hal-hal tak mengenakkan barang sebentar saja.

Totti adalah kesenangan tersendiri. Ia dan kejenakaan khasnya adalah kekonyolan yang buat saya, bisa mengembalikan keceriaan sepak bola yang direbut oleh kecerdasan sepak bola. Ketidakpintaran Totti adalah kesegaran yang bisa mengalahkan kerumitan sepak bola.

Ada hal-hal yang lama tak terlihat dalam sepak bola yang muncul kembali saat menyaksikan Totti bermain. Mengutip omongan Milan Kundera, ia ibarat teman masa kecil yang berfungsi sebagai cermin yang memantulkan masa silam kita. Barangkali sebagai manusia, kita tidak pernah punya kewajiban untuk memiliki teman masa kecil. Namun sebagai manusia dewasa, agaknya teman masa kecil memang dibutuhkan. Keberadaannya diperlukan untuk menjaga keutuhan kita sebagai manusia.

Barangkali, apa-apa yang kita hadapi sebagai orang dewasa gemar menggerus keutuhan kita sebagai manusia. Ada banyak yang terkikis, ada banyak hal yang kita anggap tak lagi pantas melekat dalam diri kita sebagai orang-orang dewasa, sehingga kita buang jauh-jauh. Tapi teman masa kecil adalah teman yang menyaksikan apa-apa yang kita alami sewaktu kanak, hijau, muda atau apapun namanya. Apa yang mereka ketahui tentang kita adalah kita di masa silam, yang belum babak belur dihajar pendewasaan.

Kita tak akan mungkin kembali menjadi kanak. Teman masa kecil kita juga tak mungkin kembali muda, ia sama seperti kita yang semakin hari semakin menua. Namun dari orang-orang tua inilah terpantul kita yang dulu, yang barangkali sudah kita lupakan.

Totti juga semakin tua. Namun setiap kali melihatnya bermain atau sekadar membaca tingkah-polah jenakanya, saya seperti sedang berhadapan dengan cermin yang memantulkan sepak bola mula-mula yang saya kenal.

Membicarakan Totti sebagai teman masa kecil memang perihal konyol. Tapi agaknya Totti memang sebentuk kekonyolan yang teguh menjaga keceriaan sepak bola.

Lantas, yang paling menyebalkan dari menuanya Totti bukan kariernya sebagai pesepak bola yang hampir habis. Waktu Totti gantung sepatu nanti, rasa-rasanya saya akan kehilangan teman masa kecil yang membikin saya senang bukan kepalang saat peluit pertama dibunyikan. Coba beritahu saya, apa lagi yang lebih menyebalkan dari hal semacam ini?

Sayonara untuk Bapak yang Kalem

Britain Soccer Unicef Match for Children
Sumber foto: Jon Super/Associated Press

Cara terbaik menyikapi pemecatan Ancelotti adalah dengan bersikap datar.

Beberapa jam sebelum pemecatannya, saya sibuk memperhatikan foto-foto Ancelotti. Memperbesar sejenak lalu mengembalikannya kepada ukuran normal. Memperbesar lagi, memperhatikan sejenak, lalu beralih kepada foto yang lain.

Jika diperhatikan, wajahnya khas bapak-bapak. Sepengalaman saya, seorang bapak punya kecenderungan yang berbeda dengan ibu. Semakin besar si anak, semakin besar pula kecemasan seorang ibu. Sehari-hari ia akan dipenuhi dengan ketakutan kalau-kalau si anak akan melakukan hal yang tidak-tidak. Jangan heran bila entah berapa jam sekali ibu akan menelepon, memastikan kalian sedang di mana dan sedang bersama siapa.

Walau tidak punya kesempatan berlama-lama hidup dengan bapak, saya ingat bapak saya tidak seperti itu. Saat merasa kelakuan saya mulai mencemaskan, ia akan diam-diam mendatangi kamar saya lalu mengajak makan berdua di kedai bakmi favorit. Setelah saya kenyang, ia mulai berbicara. Tidak lama, hanya sekitar 10 menit. Dan omongannya selalu dimulai dengan kalimat: “Saya tidak suka kamu begini”. Ya, tidak peduli sebandel apapun, dia tidak pernah menyebut saya sebagai anak bandel.

Saya teringat bapak saya ketika melihat foto-foto Ancelotti. Bukan kemiripan paras yang memantik ingatan, tapi meditasi tentang ketenangan dan datarnya bangunan emosi Don Carlo yang membikin saya ingat mendiang Bapak.

Tentu saja saya bukan Pepe. Tapi Pepe di era Ancelotti berubah ke arah yang lebih menarik. Bagi saya, Pepe sebelumnya merupakan bek paling brengsek yang pernah saya lihat. Rasanya muak menyaksikan tingkahnya di lapangan yang getol membuat provokasi. Namun, Ancelotti menjadikannya sebagai salah satu bek paling bersih di Spanyol. Selama musim 2014-2015 ia hanya mengantongi 4 kartu kuning. Padahal musim sebelumnya, 2013-2014, ia mengantongi 9 kartu kuning.

Bisakah dibayangkan, Pepe yang kerap kali di-meme-kan sebagai si brutal yang tak kepalang, Pepe yang kadang membuat penonton bertaruh akankah dia diusir dari lapangan pada sebuah laga, bisa hanya menerima 4 kartu kuning sepanjang musim?

Di era Ancelotti, bek sebengal Pepe bermetamorfosis menjadi bek yang lebih rapi dan lebih kaleum. Dan untuk segala perubahan yang ditunjukkan pesepak bola sebengal Pepe, saya menerka-nerka pembicaraan pribadi macam apa yang pernah tergelar di antara Pepe dan Ancelotti? Saya juga penasaran ingin tahu ke mana Ancelotti mengajak Pepe untuk bicara berdua, tanpa intervensi atau dilihat rekan-rekan pemain ataupun staf lainnya.

Saya tidak tahu apakah Pepe juga merokok atau tidak, namun  jika ia seorang perokok, barangkali mereka berdua akan berbicara sambil menyulut rokok masing-masing sambil sesekali menertawakan hal bodoh atau berdiam sejenak sembari menimbang-nimbang sesuatu. Tapi yang jelas, tidak ada amarah di dalamnya, sebagaimana nyaris semua foto Ancelotti yang saya saksikan tadi malam satu demi satu.

Pada salah satu foto saya berusaha menghitung kerutan dahi Ancelotti. Tidak banyak, hanya ada 4 kerutan. Saya memikirkan hal-hal apa saja yang bisa membuat kerutan itu bertambah banyak – selain masalah usia tentunya.

Saya ingat, sebagai seorang bapak dari sepasang anak kembar, bapak sering dibikin pusing oleh anak-anaknya yang sering bertengkar. Dibandingkan sambutan ceria khas anak kecil, saya dan abang lebih sering menyambutnya dengan laporan siapa yang lebih dulu mencari perkara. Namun saya pikir, seberisik apapun kami, ia sadar bahwa anak-anaknya hanya sedang merayakan ego masing-masing. Kalau saya ingat-ingat, selama mendengarkan laporan kami, ia sesekali mengerutkan dahinya -barangkali mencoba memahami – lalu masuk ke kamar sebentar untuk mengganti baju dan mulai menyuruh kami ini dan itu.

Seketika kami menjadi sebal padanya, namun beberapa tahun kemudian saya menyadari bahwa dalam pertengkaran apapun ia tidak pernah menyuruh kami untuk saling meminta maaf. Ia selalu membuat kami lupa bahwa kami sedang bertengkar.

Saya membayangkan Ancelotti sebagai seorang bapak di kesebelasan yang diasuhnya. Dan menjadi manajer di kesebelasan “serumit” Real Madrid, dengan pemain-pemain berharga mahal yang merasa dirinya masing-masing sebagai pemain yang penting dan hebat, pastilah ada banyak anak yang harus didamaikan oleh Ancelotti.

Klub akan kehilangan kenyamanannya jika salah seorang saja masih menyimpan ketidakberesan tentang saudara-saudaranya. Sebagai manajer, asalkan hal tersebut tidak mengganggu permainan di lapangan, Ancelotti sah-sah saja bersikap masa bodoh. Namun sebagai seorang bapak, pembiaran semacam itu akan menjadikannya bapak yang gagal.

Ancelotti tidak datang ke Madrid dengan kondisi menyenangkan. Jose Mourinho meninggalkan warisan berupa permusuhan antara Casillas dan teman-temannya. Konon, hubungannya yang tidak harmonis dengan Mourinho juga memperburuk hubungannya dengan rekan-rekan setim.

Saya tidak tahu hal seperti apa yang dibuat Ancelotti untuk menyelesaikan permusuhan di antara anak-anaknya itu. Mungkin dengan menyuruh mereka memangkas rumput dan mengepel Santiago Bernabeu atau bahkan membiarkan mereka menyeselesaikannya dalam adu jotos. Yang jelas, permusuhan itu dikabarkan berakhir. Casillas turun gunung, ia bertanding lagi bersama saudara-saudaranya. Mengusahakan kemenangan, menanggung kekalahan, dan akhirnya merayakan La Decima.

Ancelotti bukan hanya berhasil mendamaikan Casillas dan teman-temannya. Ia juga berhasil mendamaikan ego para pesohor lapangan hijau berseragam Real Madrid.

Bagi para penonton dan penggemar, menyaksikan pemain-pemain bintang seperti Ronaldo, Bale maupun Karim Benzema bermain di satu lapangan tentunya akan menjadi kenikmatan tersendiri. Namun bagi manajer, hal ini bisa berarti malapetaka. Jika salah satu pemain tidak bisa mengendalikan egonya dan memaksakan diri untuk menjadi pahlawan tanpa mengindahkan keharusan untuk bekerja sama, talenta dan nama besar akan menjadi bumerang yang gemar menyerang balik.

Sebagai seorang anak, saya tidak suka bila bapak saya berekspresi secara berlebihan. Itu bukan bagian seorang bapak. Ancelotti barangkali juga menyadari hal itu.

Ia sadar bahwa anak-anak (asuhnya) tak membutuhkan luapan emosi berlebihan. Dan barangkali ia juga sadar bahwa pemecatan kali ini memang perihal yang biasa terjadi dan karenanya tak perlulah bersikap berlebihan. Sikapi dengan seperlunya.

Ia hanya perlu menerima, memastikan urusan administrasi sudah selesai, mengemasi barang-barangnya, berpamitan sebentar dan pulang ke rumah. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan, karena bagaimanapun juga, Ancelotti bukanlah bapak bagi para pesepak bola itu. Ia hanya seorang pelatih yang entah bagaimana caranya menjadi bapak bagi mereka.

Sekali waktu, tulisan ini tayang di sini.

Cerita Poster

IMG_20160202_082038

Gajiku belum seberapa, belum sampai dua digit. Menjelajah stadion demi stadion pun hampir tak pernah, tapi sejak zaman sekolah aku sudah bisa membeli Maldini – membawanya pulang ke rumah, menyuruhnya berdiam di kamar tidurku.

Itulah yang aku pikirkan waktu mendapati poster butut yang sudah lama tak kulihat masih menempel di tembok kamar. Posisinya masih sama seperti yang kuingat dulu, ada di sebelah kiri cermin kamar.

Aku tidak tahu ada berapa banyak orang yang sepertiku dulu. Aku masih menikmati masa kejayaan tabloid-tabloid olahraga yang kupikir lebih cocok disebut sebagai tabloid sepak bola. Kami, kaum pelajar yang kala itu cukup puas dengan uang jajan harian pasti gelisah menunggu jam pulang sekolah – kalau tidak salah – setiap Kamis. Kami takut kehabisan tabloid yang juga sering menghadiahi kami poster pesepak bola kesayangan. Maklum, guru-guru piket gemar merazia barang-barang seperti tabloid olahraga jika kami kedapatan membawanya ke sekolah. Makanya, mau tak mau kami harus menunggu jam pulang sekolah supaya bisa membawa pesohor-pesohor lapangan hijau itu pulang ke rumah.

Dulu mamaku sampai muak dengan kelakuanku yang gemar menempeli dinding kamar dengan poster pesepak bola. Kamarku penuh poster. Aku senang, poster-poster yang memenuhi dinding kamar itu memudahkanku untuk berkhayal bagaimana rasanya menjadi seorang pesepak bola. Tapi dia tak suka, lantas menyuruhku mencabut semua poster. Kabar baiknya, setidak suka apapun, agaknya sedikit banyak dia tahu bahwa poster Maldini di sebelah kiri cermin itu selalu menjadi kesayanganku. Buktinya, tak ada omelan yang kudengar walau aku menolak untuk mengenyahkannya dari dinding kamar. Buktinya, poster itu masih kudapati di tempat yang sama setelah sembilan tahun enam bulan kurang satu hari, aku tak menginjakkan kaki ke rumah.

Ada satu esai Seno Gumira Ajidarma yang berjudul ”Air Terjun di Dalam Rumah”. Tulisan ini diawali dengan kisah sutradara legendaris Indonesia, Sjuman Djaya, yang memiliki miniatur air terjun di dalam rumahnya. Barangkali jika dibayangkan bentuknya seperti taman kecil. Konon setiap bangun tidur – biasanya siang hari, ia selalu berdiam diri sejenak di depan air terjun itu. Katanya, untuk memikirkan hal yang baik sebelum tenggelam dalam kontrak sosialnya di dunia yang fana.

Dalam tulisannya ini Seno Gumira hendak berkisah tentang masyarakat perkotaan – Jakarta – yang walaupun tinggal di gang-gang sempit, berjibaku dengan kemacetan dan kesemerawutan, berkejar-kejaran dengan tenggat waktu pekerjaan – tetap saja bisa menikmati air terjun. Gemericik air terjun lengkap dengan segala kesejukannya bisa mereka bawa pulang. Tak perlu repot-repot mengurus cuti untuk bisa pergi ke gunung, cukup dengan membayar para perajin miniatur air terjun.

Kata orang-orang, menjadi kaya raya itu menyenangkan karena bisa membeli apapun. Jika uang sudah menggunung, gunung dan hutan pun bisa dibeli. Mereka bisa membeli pulau lantas berlibur tanpa harus terganggu dengan kebisingan wisatawan lainnya. Dengan uangnya mereka bisa melarikan diri dari penat yang lahir akibat keputusan untuk memikul tuntutan-tuntutan hidup di zaman modern yang serba tak mudah. Namun itu buat mereka yang berlebih dalam hal finansial, buat mereka yang pas-pasan, yang tak bisa membeli gunung, hutan apalagi pulau – membeli air terjun saja sudah cukup. Yang penting ada sedikit gemericik air yang bisa dinikmati, yang penting ada sedikit yang menyejukkan setelah berjam-jam disengat panas matahari.

Keberadaan poster-poster yang dulu memenuhi kamar tidurku dan mungkin kalian juga, mirip dengan keberadaan air terjun mini di dalam rumah. Memang poster-poster itu tak bisa membuatku menyempatkan diri untuk merenung setiap pagi. Namun, sama seperti Sjuman Djaya dan orang-orang yang dikisahkan oleh Seno Gumira tadi, poster—poster itu pun sempat memanusiakanku dan barangkali kalian yang juga memilikinya.

Walau mereka sering menjadi penyebab dari meningkatnya kreativitas mama dalam mengomel, poster-poster ini gemar memanusiakanku dengan caranya yang unik. Tak jarang saat aku kebingungan sendiri di kamar karena kehabisan ide untuk menyembunyikan nilai ulangan yang tak sesuai dengan keinginan orang tua atau tak bisa menemukan alasan dan kambing hitam yang tentunya bisa meringankan hukuman akibat turunnya nilai rapor, poster-poster itu semacam meyakinkanku bahwa siapapun tetap bisa menjadi manusia yang utuh walau mendapatkan angka lima saat ulangan matematika ataupun merasa tak mampu untuk masuk ke kelas IPA.

Poster-poster yang kalau boleh jujur justru memberikan kesan berantakan pada kamar itu terkadang bercerita bahwa arahan guru olahragamu tentang bagaimana cara menendang bola yang benar pun bisa menjadi salah satu modal untuk bisa menginjakkan kaki ke negara-negara yang selama ini hanya kau dengar saat pelajaran geografi berlangsung. Semacam cerita yang menyadarkanmu bahwa untuk “menjadi orang”, kau tak melulu harus menjadi dokter, insinyur, polisi ataupun presiden.

Sekarang, poster yang tinggal satu itu sudah kulepas dari tempatnya dan kutempel di dinding yang baru, di kamar kos. Rupanya memang sudah butut, tapi ia masih sanggup memanusiakanku. Namun sama sepertiku yang tentunya tak sama lagi dengan zaman bocah dulu, poster-poster tadi juga memanusiakanku dengan cara yang berbeda. Kalau dulu, mereka sering berkisah tentang hal yang membuatku menggebu-gebu. Namun sekarang ceritanya berbeda. Ia semacam menjadi pengingat bahwa menjadi manusia itu juga perkara menerima hal-hal yang tak bisa direngkuh. Bahwa menjadi manusia juga tentang berlari-lari agar gaji tak dipotong sejam akibat terlambat lima belas menit, bukan melulu tentang berlari-lari dan merebut bola dari kaki lawan. Menjadi manusia juga menyoal bagaimana caranya menerima kenyataan bahwa zaman sekarang, menerjemahkan angka-angka yang tercantum pada kertas kerja digital jauh lebih relevan dibandingkan dengan mengabadikan peristiwa-peristiwa lapangan hijau pada lembaran-lembaran kertas.

Poster yang tinggal satu itu, yang bagian tepinya tak lagi mulus, yang sekarang ditempel di dinding yang baru – tak lagi menjadi bukti bahwa aku bisa membeli “Maldini” walau jumlah gajiku belum seberapa. Sekarang, ia semacam menjadi jalan masuk ke dalam ruanganku yang paling pribadi. Ruangan yang penuh dengan hal-hal yang dirindukan namun tak terjangkau – ruangan yang hanya bisa dilihat, namun tak bisa ditinggali.

NB: Tulisan ini pernah tayang di bolatotal.com. Sayang portalnya masih belum hidup lagi sampai hari ini.

Barista di Tribun Timur

Dari tribun timur Si Jalak Harupat, saya menikmati kelancangan yang samar-samar dari seorang penjual kopi keliling.

Gol yang dicetak Ilija Spasojevic membikin Jalak Harupat bersorak. Orang-orang yang tadinya duduk mendadak bangkit dan mengangkat kedua tangan. Mereka yang menyanyikan puja-puji turut memperkeras suaranya. Jalak Harupat meriah, semua mata tertuju ke arah lapangan, kecuali mata si penjual kopi.

Apa yang terjadi di atas lapangan tak pernah menjadi urusan si penjual kopi keliling, karena yang menjadi urusannya adalah kami yang duduk di tribun penonton. Urusannya dengan kami, para penonton, juga bukan urusan sepele. Ini urusan perut yang hanya beberapa jengkal, tapi juga berarti hidup dan mati. Siapapun yang menang, kesebelasan manapun yang kalah, tak akan jadi soal selama kopi-kopi dalam kemasan itu terseduh dan menjadi uang beberapa ribu rupiah.

Soreang sedang dingin-dinginnya dan pertandingan hari itu berlangsung satu jam menjelang malam hari. Kebanyakan para penonton tak memakai jaket ataupun baju berlapis, termasuk saya. Kalau saya adalah si penjual kopi, saya bakal girang. Ini kesempatan merebut rezeki. Dagangan bakal laku keras. Setangguh-tangguhnya manusia, ia bakal kalah, atau setidaknya tak nyaman, jika berlama-lama dalam dingin. Harus ada yang membikin hangat, agar badan tak segera tumbang.

Pertandingan baru berjalan 10 atau 15 menit, si bapak berkali-kali dipanggil penonton. Sependengaran saya, tak ada yang memanggilnya dengan sebutan “Pak”. Mereka yang suaranya masih terjangkau telinga saya memanggilnya “Mang”. Aih, agaknya saya tahu mengapa dia kerap sumringah

Katanya, menurut aksara Sunda, panggilan “Mang” ditujukan buat pria yang lebih tua. Tapi panggilan itu menandakan keakraban. Dan yang namanya keakraban, tentu membikin nyaman. Semacam membenarkan anggapan kalau di stadion, selama membela klub yang sama, semua bisa menjadi teman.

Persib mencetak gol kedua sebelum babak pertama berakhir. Saya mengalihkan pandangan ke arah bapak penjual kopi. Kakinya cekatan naik-turun undakan stadion. Ia sabar saat menunggu pembeli yang berjalan ke kanan dan kiri tribun tempat ia mondar-mandir. Sesekali topinya dilepas untuk digunakan sebagai kipas seadanya. Astaga, saya di sini kedinginan, dia malah kepanasan.

Seisi stadion menyoraki Spasojevic karena dua golnya, bahkan sebelum babak pertama berakhir. Stadion penuh dengan orang-orang yang kegirangan. Koreografi dari tribun selatan tampak cantik, tabuhan drum dari tribun timur membangun irama rancak. Menyenangkan, sisa-sisa hari itu berjalan dengan asyik.

Tapi si bapak tetap tak peduli walaupun ada bule yang menambah keunggulan Persib. Bahkan, beberapa saat setelah gol kedua itu, si bapak terlihat sibuk menghitung uang hasil dagangannya. Jemarinya bergerak cekatan, seolah tak mau kalah dengan kelincahan para pegawai bank.

Selesai menghitung, uang itu disimpannya tanpa ragu di tas selempang butut yang dibawanya. Ia tak takut untuk menyimpan uang yang bisa jadi, adalah seluruh penghasilannya hari itu, di tempat yang mencolok. Barangkali, ia benar-benar sudah kenal dengan stadion ini, jadi tak ada yang perlu ditakutkan.

Menit-menit turun minum tak hanya jadi keriaan buat para pemain, tapi buat kami para penonton. Waktu yang durasinya tak seberapa jika dibandingkan dengan keseluruhan pertandingan adalah saat yang tepat buat meregangkan otot dan mengistirahatkan syaraf yang menegang akibat adrenalin yang terpacu sepanjang babak pertama.

Di menit-menit ini si bapak tambah sibuk. Mirip dengan saya kalau dikejar tenggat waktu pekerjaan. Jalannya makin cepat, ia makin sergap dalam mengaduk minuman-minuman yang dipesan para penonton. Topinya miring, seperti mau jatuh. Tapi dibiarkan saja. Lebih baik kehilangan topi daripada kehilangan pembeli.

Menjelang berakhirnya turun minum, saya berjalan menuruni undakan tribun timur. Saya bilang ke si bapak kalau saya mau beli kopi, lalu menunjuk kopi kemasan berwarna merah. Kata orang, ini kopi banci, bukan kopi yang sebenarnya. Ah, peduli setan.

Tak sampai semenit setelah anggukan si bapak sebagai tanda bahwa ia paham kopi apa yang saya mau, jari-jarinya dengan sigap menyobek bungkus kopi. Serbuk kopi warna coklat itu dimasukkan ke dalam gelas plastik bekas air mineral. Dengan sekali tekan, air panas mengalir dari termos warna merah muda. Kopi itu diaduknya dengan sendok kecil yang entah sudah berapa kali digunakan. Tapi saya tak peduli, saya mau minum kopi seduhannya sebelum pertandingan dimulai. Setelah selesai, kopi dalam gelas plastik itu disodorkannya kepada saya.

Saat menunggu uang kembalian, saya bilang padanya, “Nongton atuh, Pak,” dengan logat Sunda yang pasti terdengar menyedihkan. Ia menengadah mendengar omongan saya. Tertawa tanpa suara, lalu memberikan uang kembalian yang saya tunggu. Dengan cepat ia beranjak dari tempat itu saat mendengar seruan “Mang” dari bangku yang ada lebih ke bawah. Dari kejauhan, rompi kuning yang jadi seragam para penjaja kuliner stadion, terlihat lebih mirip syal daripada rompi. Lucu sekali.

Saya kembali ke bangku. Membiarkan kedua telapak tangan menyerap panas dari gelas plastik yang saya pegang. Saya suka hangat yang seperti ini. Asap kopi itu mengepul-ngepul. Ia jadi lawan yang tepat buat udara dingin Soreang.

Saya memperhatikan wadah plastik itu. Tak ada nama saya di sana. Biasanya, barista kedai kopi ternama itu selalu menanyakan nama saya. Hanya buat ditulis di bagian luar gelas, supaya pembeli yang lain tak keliru dan meminum kopi itu karena rupa sajiannya mirip-mirip. Upaya mengetahui nama di beberapa tempat, memang hanya berfungsi sebagai prosedur, bukan usaha untuk menjadi karib.

Lima-empat menit menjelang babak kedua dimulai, saya menyesap kopi itu pelan-pelan. Rasanya enak walaupun harganya tak seberapa. Saya suka sensasi minum minuman panas, rasanya perut menjadi hangat dalam seketika. Kopi itu tak terlalu manis, tak juga hambar akibat kebanyakan air.

Saya mendiamkan kopi itu sejenak. Hangatnya bertahan lumayan lama. Si bapak penjual kopi masih mondar-mandir. Tangannya yang keriput tetap lihai meracik kopi. Di tribun itu ia adalah barista. Ia barista yang membiarkan saya menikmati kesenangan tanpa harus kehilangan banyak hal yang saya upayakan berjam-jam setiap hari.

Sebentar lagi pertandingan dilanjutkan. Saya menatap kopi yang tinggal separuh. Seketika saya ingat satu puisi yang berpesan: Kurang atau lebih, setiap rezeki perlu dirayakan dengan secangkir kopi.

Sekali waktu, tulisan ini pernah tayang di sini.

Ibu-ibu yang Mengambil Alih Bench

-buat para ibu dan yang bersiap-siap menjadi ibu

IMG_20150618_110514-361x271

Yang tampak di pelupuk mata saya adalah bench yang reot, yang bergaung di telinga saya adalah sorak-sorai para ibu yang heboh sekaligus riang.

Di banyak pertandingan yang pernah saya lihat, bench selalu dilengkapi kursi-kursi empuk yang disediakan buat staf dan pemain. Namun bench di depan saya saat ini hanya memiliki satu bangku. Jangan bayangkan bangku yang terbuat dari semen sehingga kokoh. Bangkunya serupa bangku di warung-warung makan pinggir jalan, kalau diduduki beramai-ramai bisa langsung ber-keriyut-keriyut menandakan kerapuhan dan keringkihannya. Pun dengan atapnya, alih-alih dipenuhi logo sponsor, ia malah dipenuhi karat. Tiangnya juga menyedihkan, hanya terbuat dari kayu seadanya, yang penting tegak, yang penting bisa menopang.

Di dekat pintu masuk lapangan yang digunakan sebagai tempat latihan SSB ini, ada pohon yang sebenarnya tak rindang-rindang amat. Di bawahnya ada potongan-potongan kayu yang bisa digunakan sebagai tempat duduk. Agaknya, tempat ini juga menjadi salah satu sudut favorit ibu-ibu yang menunggu anaknya latihan.

Biasanya setelah bercengkerama dan bergurau beberapa meter dari pintu masuk lapangan, ibu-ibu ini memilih duduk di kumpulan potongan kayu tadi. Selain cukup teduh dan menghadap tepat ke arah lapangan, di sebelah kanannya juga terdapat lapangan kecil berpasir. Anak-anak yang lebih kecil yang diajak sang ibu menunggu abang-abangnya berlatih sepak bola sangat sering bermain di lapangan berpasir itu. Barangkali di mata mereka, lapangan itu serupa bak pasir di taman bermain.

Saat itu sekitar pukul 9 pagi. Lapangan belum terlalu ramai. Seorang ibu yang menunggui anaknya latihan bercerita kalau hari ini mereka akan bertanding melawan SSB dari Bogor. Kata si ibu, mereka sudah berkumpul sejak jam 8 – sesuai anjuran si kepala instruktur. Tapi lawan mereka datang terlambat, sudah 1 jam menunggu tak juga datang.

Saya melihat lagi ke arah bench. Bench sudah penuh! Lucunya, pelatih dan (kalau tidak salah) 2 orang staf tidak duduk di bench. Mereka berdiri tegak di luar bench sambil sesekali memanggil anak-anak didiknya yang sedang bertugas mempersiapkan lapangan. Di antara mereka ada yang memasang gawang. Gawang itu dijungkirbalikkan, anak-anak di kelas senior yang mengerjakan hal ini karena bobotnya yang memang tak ringan. Sementara yang berada di kelas junior sibuk mengangkat kardus-kardus air mineral dan membagi-bagikan pisang buat teman-temannya.

Seorang ibu meminta anaknya untuk membeli tambahan pisang, dia pikir jumlah pisang yang tersedia masih terlalu sedikit. Begitu si anak kembali dengan tambahan pisang buat teman-temannya, si ibu ikut mencomot. Barangkali sebagai ibu yang akan segera bertugas sebagai suporter garis keras buat anaknya, ia sadar kalau ia butuh tambahan energi untuk berteriak-teriak dan mengomel-ngomel sembari melompat-lompat.

Pemandangan lucu dan nyeleneh ini meyakinkan saya kalau sebenarnya seorang ibu tidak pernah berjauh-jauhan dengan sepak bola. Ia begitu dekat, lebih dekat, sangat dekat, dan mungkin bisa dibandingkan dengan laki-laki manapun yang merasa sebagai  suporter sejati.

Saya teringat pembicaraan bersama beberapa teman kantor. Waktu itu kami sedang mengenang sepak bola ala bocah kami masing-masing. Selain menggunakan gawang yang sama – tentu saja sandal jepit – dan memiliki 2 peluit panjang yang sama – adzan maghrib dan pemilik bola yang pulang – kami juga punya rasa penasaran yang sama.

Saya tidak tahu dengan kalian, tapi yang membikin kami penasaran adalah bagaimana caranya ibu-ibu kami dulu selalu bisa menemukan kami bermain sepak bola. Saya dan teman-teman punya trik yang sama. Ibu-ibu kami sudah hafal kalau sepak bola membikin anak-anaknya malas mengerjakan PR, lupa mandi dan tentu saja menambah tumpukan cucian. Makanya, mereka sering menyusul ke lapangan tempat kami bermain.

Jengah akibat ibu yang menurut kami terlalu cepat datang dan menghentikan permainan, kami pergi ke lapangan lain yang lebih jauh. Usia yang tak muda-muda amat itu memang berkah tersendiri, karena setidaknya kami pernah hidup di zaman yang tidak terlalu sulit menemukan tanah kosong buat bermain sepak bola seadanya.

Tidak peduli sejauh apapun kami bermain, teriakan “PULAAANG!” dari mulut ibu-ibu kami, yang rasanya selalu lebih berkuasa daripada keputusan wasit manapun, selalu terdengar dari pinggir lapangan. Kejadian ini tak hanya terjadi satu atau dua kali, tapi setiap kali kami membandel. Agaknya, sejauh apapun jarak yang diinginkan si anak – seorang ibu akan selalu datang dan mendekat.

Ibu saya adalah ibu yang selalu menggeleng-gelengkan kepala dan berkata “Astaga” setiap kali ia menemukan anak perempuannya disibukkan dengan sepak bola. Dari dulu, ibu tidak terlalu suka kalau saya menonton atau ikut bermain sepak bola. Biasanya ia menggerutu kepada bapak. Dia pikir bapak itu biang kerok, karena memang ia yang mengajak saya pertama kali menonton sepak bola. Sebagai seorang anak yang merasa tidak dekat dengan ibu, saya pikir ibu tidak paham nikmatnya sepak bola seperti apa.

Namun ternyata saya keliru. Setelah 9 tahun 6 bulan merantau dan tak pernah sekalipun pulang ke rumah, saya menemukan poster Paolo Maldini kesayangan saya masih menempel persis di tempat saya menempelnya pertama kali – di sebelah kiri cermin kamar. Saya tidak tahu pasti apa yang ada di pikiran ibu karena kami memang jarang bicara. Namun, selama saya merantau – ibu juga menggunakan kamar itu sebagai kamarnya. Barangkali, ia tahu – walau tak sepenuhnya paham – kalau laki-laki yang ada di poster itu begitu digilai anak perempuannya. Kalaupun tidak bisa berdekatan dengan anaknya secara utuh, setidaknya ada sejumput bagian kecil yang tetap berdekatan dengannya.

Pukul 11 matahari makin meninggi, lawan dari Bogor belum juga datang. Ibu-ibu di sebelah saya makin gusar, tapi mereka tak mau beranjak juga dari lapangan, mereka tak mau berjauh-jauhan dengan sepak bola anaknya. Saya teringat cerita ibu-ibu Argentina yang tak mau berjauh-jauhan dengan sepak bola seterik apapun cuaca yang dihadapi, seganas apapun ancaman yang membikin gusar. Ibu-ibu itu bukan penggiat sepak bola, mereka hanya ibu-ibu biasa yang barangkali lebih paham kapan supermarket langganan memberikan potongan harga kebutuhan pokok ataupun jarum rajut nomor berapa yang harus digunakan untuk membuat baju hangat.

Ibu-ibu itu menentang junta militer Argentina yang sudah menghilangkan cucu, anak atau mungkin suami mereka. Mereka berunjuk rasa di Plaza de Mayo, lapangan luas di depan Istana Kepresidenan Casa Rosada sejak 30 April 1977. Puncaknya terjadi pada 1 Juni 1978, tepat saat kick-off Piala Dunia. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di Plaza de Mayo karena menyadari bahwa Piala Dunia adalah ajang kelas dunia yang menarik perhatian besar pers dari belahan bumi manapun. Kalaupun mereka tak bisa lagi bertemu dengan orang-orang kesayangannya, setidaknya dunia tahu kalau sepak bola yang begitu digilai oleh orang-orang kesayangannya itu dimanfaatkan sebagai selubung yang menutupi darah yang ditumpahkan.

Hampir pukul 12 siang, cuaca panasnya minta ampun. Sekilas saya melihat beberapa orang anak memasuki tempat latihan. Ibu-ibu itu kasak-kusuk berbisik “Dateng dateng…” lalu mereka berdiri, meregangkan pinggang, meng-keretek-an jari, lantas berjalan pelan ke arah bench yang reot itu. Lagak ibu-ibu ini sudah seperti pemain sepak bola itu sendiri, yang menggelar pemanasan begitu melihat sang lawan datang mendekat.

Pelatih dan staf kemudian menyodorkan beberapa gelas air mineral kepada rombongan dari Bogor. Rombongan kecil lainnya yang tadinya tak tampak juga terlihat berjalan memasuki lokasi SSB. Agaknya mereka lawan yang ditunggu itu.

Ibu-ibu itu sudah siap di bench. Seorang dari mereka mengenakan topi golf dan kacamata hitam, seorang lagi berteriak kepada anaknya yang sedang bersiap-siap; “Jadi bek wae, lebih alus!” Si pelatih menoleh sebentar, agaknya ia menimbang-nimbang tentang keabsahan perintah seorang ibu. Katanya, surga itu ada di telapak kaki ibu. Kalau tak menurut urusannya bukan cuma panjang, tapi menyangkut dunia akhirat. Benar-benar the law of the game!

Menjelang setengah 1 siang, kedua kesebelasan sudah siap di lapangan. Pelatih dan staf baik kesebelasan tamu maupun tuan rumah, tak ada yang kebagian tempat di bench. Apa boleh buat.

“Priiiiitttt!” Walau suara peluitnya terdengar loyo, pertandingan tetap dimulai dan ibu-ibu ultras itu sudah heboh berteriak-teriak, memberi instruksi atau mengomel atau mengeluh -padahal pertandingan belum sampai 1 menit berlangsung.

Apa boleh bikin: Ibu-ibu inilah the law of the game yang sebenarnya.

Tulisan ini pernah tayang di sini, beberapa saat sebelum godaan untuk menjadi karyawan teladan harapan pemilik modal penuh waktu menyerang. Selamat Hari Ibu!

Semalam di Bandung Raya

Kota ini, kota Bandung ini, tak suka kalau tak bersibuk diri. Ada saja yang dilakukannya. Ada saja yang membuat jalan-jalannya penuh dengan berbagai macam kendaraan yang menjadi kebesaran si raja-raja jalanan yang gemar berteriak “tiiin tiiiin tiiiinnn” jika mereka yang di depannya telat bergerak lima sampai sepuluh detik saja. Siang malamnya selalu berisik.

Jalan-jalannya adalah nyawa buat mereka yang mau tak mau harus tunduk kepada zaman lengkap dengan segala tuntutannya. Jalan-jalan di sini, di Bandung, selalu lihai untuk membangun ingatan-ingatan tentang jam kerja yang menimbulkan ketakutan tersendiri, tentang senyum ramah berikut bingkisan di tangan kanan dan kertas-kertas kontrak di tangan kiri, tentang pelototan direktur yang berarti tuntutan keuntungan enam ratus sampai tujuh ratus juta rupiah per bulan, tentang rasa jengkel yang bercampur dengan kepenatan yang harus ditutup-tutupi karena apa boleh buat – si perempuan minta ditemani berbelanja – tentang supir-supir angkot yang tak bosan berteriak “Kalapa! Klebet, Teh, klebet! Kalapa, Kalapa!” kepada siapa-siapa yang dilihatnya, tentang remaja-remaja puber yang garuk-garuk kepala saat kedapatan tak punya SIM atau mengendarai sepeda motor yang tak berkaca spion. Ingatan-ingatan yang tak menyenangkan-menyenangkan amat, ingatan-ingatan akan kejadian yang terepetisi, yang suka atau tak suka bakal muncul saat mereka melewati jalan-jalan tersebut di hari tuanya, saat tak kuat lagi melakukan banyak hal.

“Sudah lama beta tidak berjumpa dengan kau…”

Aku belum lahir saat peristiwa yang menginspirasi lagu Halo-halo Bandung itu terjadi. Tidak paham sepanas apa kota Bandung waktu itu. Tidak paham ada berapa banyak orang yang mati terpanggang. Tidak mengerti sebanyak apa orang-orang yang dilahap oleh rindunya sendiri, rindu untuk melihat tanah yang merdeka.

Tadi malam pun ada rindu di kota Bandung. Ia memang tak sampai mengubah Bandung jadi lautan api untuk kedua kalinya. Yang diubah hanya jalan-jalan yang biasanya ramai di akhir pekan. Memang tak sesepi kuburan, tapi tetap saja mengherankan jika jalur Bojongsoang – Jalan Merdeka bisa ditempuh dengan kendaraan umum dalam waktu kurang dari satu jam, di akhir pekan pula.

Buat mereka yang tinggal di sini, jalan-jalan di akhir pekan selalu menyuguhkan pemandangan yang membosankan. Sudah membosankan, ia juga gemar memaksa kita untuk berlama-lama menyaksikannya. Menjengkelkan bukan? Terjebak dalam kemacetan, menjadi satu dengan orang-orang yang ingin segera menukar kepenatan dan kejenuhan lima hari kerja berikut jam-jam lemburnya dengan kesenangan singkat – ber-hahahihi di kafe atau bistro, belanja sepatu dan tas keluaran terbaru atau menonton film-film di bioskop. Semakin tua zaman, semakin banyak orang yang penat. Tak heran jika jalanan makin penuh dengan mereka yang memburu kesenangan singkat. Bertemu dengan sesama orang penat, berbagi kejenuhan, menertawakan nasib yang kelihatannya baik-baik saja.

Tapi sekitar jam lima atau enam sore kemarin, jalanan tak seramai biasanya. Cenderung sepi. Menjelang jam tujuh juga seharusnya tak seperti kemarin, seharusnya ada banyak wajah-wajah kesal yang terjebak kemacetan.

Kata orang, sebentar lagi kota ini akan bertemu dengan apa yang dirindukannya. Bukan rindu setahun dua tahun, tiga empat tahun. Ini rindu sembilan belas tahun. Rindu yang beranak-cucu, rindu turun-temurun. Frase “kata orang” memang tak bisa menjanjikan apapun. Ia mirip dengan “suatu saat nanti” atau “ada hikmahnya” yang sering digunakan untuk menenangkan, sebagai antisipasi kekecewaan bagi mereka yang harap-harap cemas menunggu.

Sayangnya, aku lupa nama jalan ini. Yang jelas, selalu aku lewati jika ingin mencapai Jalan Merdeka. Di jalan ini ada dua toko kecil yang menjual jersey dan barang-barang berbau Persib. Toko yang satu yang ada di kanan jalan sudah tutup walau belum jam enam sore. Yang di sebelah kiri, masih buka. Ada empat atau lima pasangan yang berbelanja. Lucunya, yang sibuk memilih-milih jersey, bahkan mencobanya dengan menyarungkannya begitu saja ke badan adalah para perempuannya. Laki-lakinya duduk-duduk saja sambil mengutak-atik ponsel. Wajah si laki-laki agak cemas. Agaknya takut tak kebagian tempat dengan sudut pandang yang membuatnya mampu menyaksikan umpan Makan Konate. Taman Balai Kota memang luas, tapi sepertinya ia sudah menebak-nebak berapa banyak manusia yang akan tumpah ke tempat itu. Namun barangkali yang takut bukan laki-lakinya saja. Yang perempuan juga takut. Takut gagal membuktikan kepada laki-lakinya kalau ia bukanlah tipe perempuan yang hanya handal berbelanja sepatu dengan hak setinggi tujuh sampai dua belas sentimeter. Mereka juga bisa diajak berdesak-desakan, mencium bau keringat dan asap rokok, ikut larut dalam euforia untuk mendukung apa yang digilai oleh laki-lakinya. Mungkin rindu mereka tak sama dengan rindu laki-laki  itu, tapi sekali-sekali berpura-pura rindu juga tak masalah. Toh, mereka juga senang.

Angkutan kota yang kunaiki jumlah penumpangnya tak banyak, cuma tiga orang. Biasanya kalau jumlah penumpang hanya segelintir seperti ini, si supir akan memperlambat lajunya bahkan tak sungkan untuk berhenti menunggu penumpang. Tapi kali ini lain, lajunya dipercepat. Mungkin awalnya ia tak ingin mengangkut penumpang, tapi kepalang tanggung ada yang naik. Jika lajunya cepat, sampainya juga pasti akan cepat. Di tengah perjalanan ada ibu-ibu yang mau naik, tapi ditolak. “Carteran Teh, carteran!” Rindu memang sering bikin panik, terlalu panik sampai-sampai tak sempat berpikir tentang masuk akal atau tidaknya suatu kebohongan. Tapi tak apalah, walaupun manusia adalah makhluk berakal, ia tetap suka hal-hal tak masuk akal. Lagipula, aku yakin ibu-ibu itu tak akan kesal-kesal amat. Walau tak bisa pulang cepat, setidaknya ia masih dianggap teteh-teteh oleh si supir.

Konon, walikota menghimbau agar setiap RW mengadakan acara nonton bareng. Tak banyak titik acara nonton bareng yang aku lewati, hanya ada dua RW. Di salah satu tempat nonton bareng yang kulewati ada sekumpulan kecil bapak-bapak yang berbincang dengan dua atau tiga orang laki-laki yang tatonya terlihat jelas. Di hadapan mereka, di atas meja kayu ada beberapa gelas yang lazimnya digunakan untuk menyajikan kopi-kopi ala warung. Tapi kali ini isinya bukan kopi, semacam anggur merah – mungkin anggur cap Orang Tua. Di kirinya ada layar tancap yang tak tegak-tegak amat. Kelihatan ringkih, membuatku berandai-andai apa yang bakal terjadi kalau ada angin yang lumayan kencang. Kuatkah layar itu? Jangan-jangan ia bakal ambruk, lantas memperdengarkan teriakan histeris ibu-ibu yang pada hakikatnya tak pernah absen menghebohkan acara-acara yang melibatkan warga. Tapi sepahamku, orang yang rindunya sedang menggila itu tak seringkih apa yang terlihat. Kelihatannya kuyu, tapi tetap tak mau tidur berhari-hari. Katanya lemas, tapi tak lelah menunggu.

Seorang teman yang menjadi panita acara nonton bareng di lingkungan tempat tinggalnya sempat memberi kabar. Mengeluh kesal karena kebanyakan warga enggan memberi bantuan ide dan materi. Mental terima beres. Tapi kalau ia memang kesal, mengapa dari kemarin-kemarin tak batalkan saja acaranya? Tinggal umumkan kalau acara batal karena kekurangan dana dan tenaga, beres. Tapi rindu memang sering membuat kita mempersetankan apa-apa yang menyebalkan, tak peduli dengan kemungkinan ibu yang marah besar karena mendapati peralatan-peralatan dapurnya sudah dijual, kemungkinan kendala dalam menyelesaikan tugas kuliah karena notebook sudah digadai demi menonton langsung di Stadion Gelora Sriwijaya Jakabaring atau kemungkinan melewati dua malam dengan perut keroncongan di Palembang.

“Sekarang telah menjadi lautan biru, mari Bung, rebut kembali…”

Barangkali sebagian besar manusia di Bandung Raya melompat kegirangan saat I Made Wirawan berhasil menepis tendangan Nelson Alom pada babak adu penalti. Tambah menggila saat Achmad Jufriyanto berhasil menuntaskan tugasnya dengan baik sebagai eksekutor tendangan penalti.

Jalanan kota Bandung langsung lupa dengan sepinya. Disentak oleh manusia-manusia yang merayakan ketidaksadaran dan hasratnya. Manusia-manusia yang pada akhirnya bertemu dengan rindu sembilan belas tahunnya.

Koki-koki dan para pelayan yang biasanya bekerja di deretan kafe atau bar di sepanjang jalan yang dekat dengan lokasi nonton bareng sejenak menghentikan tugasnya. Ikut berhamburan ke luar, berdiri di depan tempat kerjanya, menyaksikan arak-arakan manusia-manusia tadi. Ibu-ibu berdaster keluar dari gang-gang kecil sambil menggendong anaknya, mereka tak mau kalah, ikut berteriak girang bahkan menyambut ajakan gerombolan manusia tadi untuk saling menepukkan telapak tangannya sebagai tanda walau tak mengerti banyak, ibu-ibu itu juga bagian dari kegembiraan ini.

Perempuan-perempuan berpakaian mini dan berpolesan wajah tebal ikut keluar. Membalas seruan rombongan yang sedang menggila dengan acungan jari-jari yang membentuk tanda metal. Entah apa hubungannya juara liga dengan tanda metal. Tapi barangkali, sebagai penggiat-penggiat musik tanda metal adalah lambang penghormatan yang tinggi. Mungkin buat mereka, musisi-musisi beraliran metal adalah orang-orang yang patut dihormati karena musikalitasnya pun dengan kenyataan bahwa banyak musik metal yang kekal tak kalah oleh zaman. Entah benar atau tidak, namun ketidakpahamanku akan hubungan juara liga dan tanda metal mungkin mirip dengan ketidakpahaman tiga orang turis asing saat melihat jalanan yang mendadak penuh sesak dengan pengejawantahan euforia, walaupun mereka tak mau ketinggalan untuk ikut larut. Buktinya mereka pun mengenakan jersey Persib, ikut melambaikan tangan kepada arak-arakan sambil sesekali mengacungkan tinju ke udara. Paham atau tidak tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi di hadapan mereka memang tak penting-penting amat. Yang paling penting ikut larut. Toh, sebagai manusia yang terlalu sering sibuk dengan hidup masing-masing, sesekali kita memang perlu untuk menjadi bagian dari sebuah kelompok – setidaknya untuk meyakinkan kalau kita tak benar-benar sendirian.

Malam yang sudah benar-benar malam, mau tidak mau membuatku harus pulang dengan menggunakan taksi. Kataku pada supirnya; “Yah, Bapak tadi tak nonton finalnya dong!” Lantas si supir bilang begini; “Yang penting saya sudah tahu ceritanya, Teh.” Ya, rindu memang pintar melahirkan cerita baru.

 

NB: Dulu tulisan ini pernah tayang di Bolatotal.