Wiji Thukul yang Biasa Saja

get

Ternyata Wiji Thukul bukan seperti penyair yang kubayangkan sebelumnya.

Empat-lima kali kudengar dan kubaca puisi Wiji Thukul. Wih, penuh gelora! Membikin berapi-api dan menegakkan bulu kuduk. Katanya, apa-apa yang dia tulis membuat sekeliling meledak-ledak walau ia tak menenteng granat dan mengokang laras panjang. Ganas menusuk menikam tanpa ampun. Pikirku dia memang orang sakti.

Tapi Wiji Thukul yang kulihat malam tadi adalah Wiji Thukul yang biasa-biasa saja. Kuperhatikan dia baik-baik, kutikamkan mata padanya lekat-lekat. Badannya kurus bagai kurang gizi. Rambutnya keriting megar serasa ingin kubabat sampai plontos. Tampilannya kumal, tanpa daya tarik. Makanya aku masih heran, kenapa orang seperti ini begitu diburu. Toh kelihatannya ia tanpa gairah, tanpa hasrat, tanpa renjana.

“Istirahatlah Kata-kata” bisa disebut sebagai keganjilan seorang Wiji Thukul. Film ini mengambil latar tempat dan waktu saat ia melarikan diri ke Pontianak. Periode ini sebenarnya cukup krusial dalam sejarah hidup Wiji Thukul. Ini adalah kali pertama ia dinyatakan sebagai tersangka. Namun ternyata, semenggebu-gebu apa pun kejaran yang dialamatkan padanya, cerita ini cenderung sunyi tanpa gejolak. Kesunyian yang selayaknya bukan menjadi bagian dari seorang yang menjadikan kata-kata sebagai ujung tombak perjuangannya.

Lantas kalau kata-kata kehilangan suaranya, apa lagi yang bisa ia perbuat?

Mengharapkan aksi-aksi heroik, fragmen-fragmen demonstrasi dan pekikan orasi sama dengan mengharapkan yang tak pernah ada di film ini. Kehidupan Thukul dalam pelariannya di Pontianak adalah kehidupan yang biasa. Makan, tidur, minum kopi, bengong, cangkruk dengan teman, duduk-duduk di teras, main kartu, ngebir, kangen istri, mencari oleh-oleh, keluar malam buat beli tuak.

Sebagai orang yang tak tahu-tahu amat dengan Wiji Thukul, sebagai seorang mbak-mbak kantoran yang masa mudanya tak pernah digerakkan oleh semangat perjuangan, tentu ada semacam rasa penasaran untuk menyaksikan Wiji Thukul –atau setidaknya orang yang memerankan Wiji Thukul- beraksi lantang dengan puisi-puisinya itu.

Tapi apa boleh bikin, adegan Thukul menyerukan “hanya ada satu kata: lawan!” yang termasyhur itu tak kunjung muncul. Syukur-syukur aku masih bisa melihat bagaimana puisi tentang tahi itu dimunculkan, “Kemerdekaan adalah nasi. Dimakan jadi tahi.” Itu pun tak di depan gedung wakil rakyat, tanpa desing peluru dan kejaran aparat. Ia diperdengarkan di depan Martin dan Thomas yang tertawa-tawa sambil minum bir, saat Thukul sudah berganti nama menjadi Paul.  Ah, jadi kapan kita ngebir, Mas Wiji?

Menyaksikan Wiji Thukul dalam “Istirahatlah Kata-kata” berarti menjadi karib dengan Thukul yang lain. Di film ini kemanusiaannya seperti ditelanjangi. Bukan untuk dipermalukan, tapi sebagai upaya untuk mempertegas bahwa ia memang manusia. Bahwa orang yang dihilangkan secara paksa ini memang benar-benar manusia.

Thukul yang muncul di sini adalah Thukul yang bertahan dalam tekanan, sembunyi dari kejaran. Mungkin karena itu ia ditampilkan sebagai sosok yang diam, yang menghabiskan banyak waktu dengan bengong dan tanpa suara.

Segala hal yang memburu Thukul memang tak terlihat di Pontianak. Secara kasat mata, ia hidup enak di sini. Mau makan ada yang mengantarkan makanan. Ketika mulai bosan ada kawan yang mengantar jalan-jalan. Ia dan kawan-kawannya bercengkerama di tepi sungai, tertawa-tawa main kartu di rumah orang. Ah, semacam sedang mengambil cuti dan piknik ke Kalimantan.

Namun kegelisahan adalah satu hal yang tak bisa ditutupi lewat peristiwa-peristiwa biasa itu. Kegelisahan Thukul menandakan tekanan yang tak sedang mereda. Hantamannya benar-benar hebat; sampai-sampai melahirkan kegelisahan luar biasa bagi Thukul yang seharusnya sudah terbiasa diburu dan dilempari.

Yang membikinnya gelisah bukan kepalang sampai tak bisa tidur dan menulis -bukankah gawat jika penyair tak lagi bisa menulis- bukan melulu soal nasibnya yang sedang diburu. Ini juga tentang -meminjam istilah seorang penulis- struktur politik yang semakin tak berpihak pada apa yang diperjuangkannya. Tekanan itu bukan hanya yang dialamatkan padanya, tetapi juga yang menghimpit kawan-kawan yang dibelanya lewat puisi.

Hal-hal liris yang ditampilkan dalam “Istirahatlah Kata-kata” memang melegakan. Ia memang rekaan, hasil olah data dan imajinasi sang sutradara. Namun keberadaannya seolah berbicara bahwa seorang penyair, pejuang garis depan yang memimpin ribuan buruh berdemonstrasi memperjuangkan hidupnya juga bisa gelisah dirundung tekanan. Hari ini ia bisa tertawa-tawa bersama teman, besoknya ia sudah kangen setengah mati dengan istri. Puisi-puisinya memang kerap terdengar dari baris depan. Namun sekali waktu, tangannya juga tak sanggup menulis, pikirannya tak cukup kuat buat melahirkan bait-bait puisi yang membikin berang sekompi kacang ijo. 

Lantas, keseharian Wiji Thukul yang tak menarik-menarik amat ini dimunculkan di tengah-tengah kebiasaan orang-orang sekitarnya di Pontianak.

Pada umumnya, mengamati orang yang lalu-lalang, memotret secara spontan tanpa aba-aba untuk berpose dan menulis apa-apa yang dilihat mata sering membuahkan potret dan tulisan yang membikin jemu. Padahal bukankah menulis dan memotret juga merupakan perkara mengabadikan apa-apa yang terabaikan oleh mata? Bukan cuma merekayasa dan memoles jadi cantik atau memantik-mantik api yang sebenarnya tak perlu.

Entah tulisan, entah film atau potret –semuanya punya tendensi untuk menampilkan hal-hal spektakuler. Buat apa diabadikan kalau yang ditampilkan cuma hal biasa? Buat apa dipertontonkan kalau setiap hari pun bisa disaksikan sambil lalu, dengan mata telanjang?

Keseharian menjadi membosankan karena ia dapat terjadi di mana saja. Ia menjadi biasa karena bisa terjadi pada siapa saja. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah keseharian ini memang biasa atau ia adalah hal-hal yang dipaksa untuk menjadi biasa?

Antrian di tukang cukur yang diserobot halus aparat lewat ungkapan “Maaf, Bapak sedang bertugas,” mungkin memang sudah jadi keseharian di Pontianak waktu itu. Kesenangan untuk tak memungut bayaran atas jasa potong rambut aparat mungkin memang hal yang biasa terjadi. Kerelaan untuk nrimo atas apa pun yang diucapkan sudah jadi budaya yang manis di sana.

Apa yang aneh dengan mati listrik? Apa buruknya saat orang-orang berseragam meminta KTP atas nama keamanan? Bukannya wajar kalau ada roti yang tak terbeli? Bukankah sudah lumrah kalau tetangga yang dianggap meresahkan tiba-tiba ditangkap satpol? Bukankah buku-buku yang memantik gejolak memang sudah seharusnya diberedel? Bukankah sudah kepalang wajar kalau ada suami yang tak pulang-pulang ke rumah?

Menghilangnya Wiji Thukul dan kawan-kawannya adalah hal yang dipaksa untuk menjadi biasa. Keberadaan Wiji Thukul adalah tanda tanya yang dipangkas menjadi titik.

Kebiasaan memang perkara lumrah. Namun kebiasaan adalah satu hal dan dipaksa biasa adalah hal lain. Dan kehilangan adalah perkara yang tak pernah menjadi basi.

Orang-orang itu bukannya menghilang dua-tiga tahun lalu. Sudah belasan tahun, sudah satu dekade lebih. Namun istri, sanak dan orang tua mereka belum berhenti membuka pintu buat yang sampai sekarang tak kunjung pulang. Ibu-ibu berbaju dan berpayung hitam itu tetap berdiri dan membisu di depan Istana Negara setiap Kamis sejak sepuluh tahun lalu. Keberadaan mereka memang tanpa lemparan botol dan nyanyian yang memekakkan telinga. Namun keberadaannya akan tetap mengganggu siapa pun yang berusaha menghilangkan kehilangan mereka.

Barangkali istri-istri ini sudah tak kaget saat ditanyai “Kapan Bapak pulang?” oleh anak-anak mereka. Atau mungkin Wani dan Fajar sudah kebal melihat pipi teman-temannya diciumi bapak ibunya di waktu-waktu sakral. Namun kawan, rindu itu -termasuk rindu Sipon- adalah rindu yang beranak cucu. Dan nyeri tanpa jeda itu tak kenal waktu. Ia tetap datang walau sudah bertahun-tahun.

Lantas, sehebat apa pun upaya untuk membiasakan kehilangan ini, akan selalu ada syair yang berteriak atas luka yang belum menutup. Syair yang tak pernah diam walau hardikan kerap datang berbondong-bondong. Syair yang tak bisa dihilangkan walau sang penyair sudah lama dihilangkan.

Wani dan Fajar adalah nama anak Wiji Thukul: Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.

Sipon adalah nama panggilan istri Wiji Thukul: Siti Dyah Sujirah.

Sumber foto: http://istirahatlahkatakata.id/

Leave a comment