Jangan Lagi Seperti Kartini

2015-04-21_--00-10701_1_kartini

Pembicaraan tentang Kartini seharusnya bukan tentang yang harum-harum saja, ia juga menyoal kematian.

Hari ini Hari Kartini. Biasanya, murid-murid perempuan dari berbagai sekolah akan berdandan semarak. Pakai kebaya dan baju-baju daerah lainnya. Berdandan macam orang dewasa, lenggak-lenggok dalam acara peragaan busana. Yang dewasa, biasanya bakal dihebohkan dengan lomba-lomba yang identik dengan keperempuanan. Memasak, merias, dan entah apa lagi. Ya namanya juga perayaan. Semua orang punya cara paling ideal perihal merayakan sesuatu. Namun kawan, Kartini hidup untuk pemberontakan. Hari lahirnya tak pantas dirayakan dengan kebaya dan riasan belaka.

Kartini terkenal dengan surat-suratnya. Ia perempuan tamatan Sekolah Rendah yang gemar membaca, punya pengetahuan luas dan cita-cita tak biasa. Buat Kartini, pendidikan itu teramat penting. Sampai umur 20 tahun, norma dan tradisi membikinnya tak bisa bersekolah lebih tinggi daripada Sekolah Rendah.

Letters of a Javanese Princess adalah kumpulan surat Kartini kepada sahabat-sahabatnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Agnes Louise Symmers dan diarsipkan oleh Universitas California, Los Angeles. Surat-surat yang aslinya ditulis Kartini dalam bahasa Belanda (pelajaran bahasa yang diterima Kartini di Sekolah Rendah hanya bahasa Belanda) ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dr. Sulastin Sutrisno.

Surat pertama ditulis pada tanggal 25 Mei 1899 dan ditujukan untuk Estella H. Zeehalendaar (dipanggil dengan nama Stella). Beberapa sumber menyebutkan bahwa Stella adalah seorang aktivis feminis radikal dan anggota Partai Buruh Sosial Demokrat (Social-Democratische Arbeiders Partij; disingkat SDAP) di Belanda.

Kartini membuka suratnya dengan antusiasme kepada modernitas yang tak hanya bisa dinikmati oleh laki-laki, namun juga menjadi bagian perempuan. Kartini waktu itu adalah Kartini yang menjadi penjabaran ungkapan “Dulu aku buta, namun sekarang aku melihat.” Ia, dalam suratnya itu merasa senang karena berkenalan dengan Stella, sekaligus merasa begitu tak sabar untuk segera bertemu dengan perempuan-perempuan merdeka yang juga peduli dengan kemerdekaan orang lain.

Kartini hidup dalam tatanan feodalisme yang membikinnya tak bisa bergerak ke mana-mana. Dalam surat di tanggal ini ia bercerita kepada Stella tentang apa yang dihadapinya sebagai perempuan Jawa. Menurutnya sistem pendidikan waktu itu benar-benar dibelenggu oleh tradisi dan konvensi kuno.

Katanya, memberikan fasilitas pendidikan kepada perempuan (pribumi) di zaman itu adalah kejahatan besar bagi adat-istiadat yang ada. Perempuan yang meninggalkan rumah setiap hari untuk bersekolah adalah aib. Makanya, Kartini merasa beruntung atas keberadaan sekolah dasar gratis buatan kolonial Belanda. Sekolah yang agaknya disebut-sebut sebagai Sekolah Rendah itu.

Kartini bilang, ketika berumur 12 tahun ia harus tinggal di rumah. Buat Kartini keharusan semacam ini membuatnya terkurung. Ia benar-benar terputus dari semua komunikasi dengan dunia luar. Katanya, perempuan yang dikurung ini adalah perempuan-perempuan yang dipersiapkan untuk menikah dengan laki-laki yang dipilihkan oleh orang tuanya.

Kartini bukannya tak melawan. Lewat suratnya kepada Stella ia bercerita bahwa ia berusaha menghalangi agar tak dikurung di rumah. Namun apa boleh bikin, orang tuanya pun harus tunduk terhadap adat dan tradisi nenek moyang. Ia pergi ke penjaranya selama empat tahun.

Namun separah-parahnya kondisi empat tahun itu, ia tetap diperbolehkan untuk membaca buku-buku Belanda dan berkorespondensi dengan teman-teman Belandanya. Bahkan di tengah situasi yang buruk sekalipun, selalu ada hal yang tak buruk-buruk amat, yang masih bisa sedikit membikin sumringah.

Lantas, agaknya, lewat penjaranya inilah Kartini mulai merintis perlawanan baru. Ia menggeser perlawanan fisik kepada perlawanan pikiran.

Larangan kepada perempuan untuk berpendidikan tinggi di zaman itu mestilah berkorelasi positif dengan larangan kepada perempuan untuk menjadi karib dengan pemikiran-pemikiran modern. Dan Kartini menjadi perempuan pemberontak yang mendobrak norma yang beranak cucu seperti ini. Barangkali bukan dobrakan yang membabi buta. Dobrakan yang mungkin tak heboh-heboh amat, namun membikin sadar bahwa ada perempuan Jawa yang tak mau dihabisi norma keperempuanan di zaman itu.

Kartini mengakhiri surat di tanggal ini dengan omongan menggelitik. Ia meminta Stella untuk memanggilnya dengan nama Kartini saja. Tanpa embel-embel Raden Ajeng atau Raden Ayu, tanpa pernak-pernik kebangsawanan.

Sekilas permintaan ini terlihat sebagai bentuk keakraban kepada sahabat penanya. Namun agaknya permintaan ini tak ada hubungannya dengan perihal demikian. Ia berbicara tentang kritik Kartini terhadap feodalisme dan kerumitan ada istiadat yang kolot. Bayangkan, di tengah-tengah era yang menggembar-gemborkan feodalisme, Kartini justru dengan “galaknya” menulis, “Tiada yang lebih gila dan bodoh daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya itu.”

Dalam surat keduanya kepada Stella (tanggal 18 Agustus 1899, surat ini adalah surat balasan Kartini atas surat Stella), Kartini bilang begini; “Buatku hanya ada dua jenis gelar kehormatan (dalam bahasa Inggris penerjemah menggunakan kata aristocracy): gelar kehormatan pemikiran dan gelar kehormatan jiwa.”

Saya teringat tentang satu fragmen dalam novel Gadis Pantai tulisan Pram saat si gadis baru tiba di rumah Bendoro. Sore hari itu ia ditinggal sendirian di satu ruangan. Dan masuklah seorang pelayan perempuan. Perempuan itu membungkuk padanya. Merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Gadis Pantai. Si gadis bingung bukan kepalang. Ini bukan pertama kali mereka bertemu, namun pertemuan pertama mereka tak seperti. Mereka berhadapan sebagai teman. Kali ini mereka berhadapan sebagai majikan dan budak.

Dan bukannya tak mungkin bentuk feodalisme yang seperti ini juga ditentang oleh Kartini. Mereka yang merasa derajat dan statusnya lebih rendah harus membungkuk-bungkuk bila berpapasan dan bertemu.

Selain memberontak terhadap feodalisme dan larangan untuk berpendidikan tinggi, Kartini juga memberontak kepada keharusan untuk menikah.

Norma zaman itu menentang perempuan untuk berpendidikan tinggi. Kalau sudah cukup umur harus menikah. Mengurus suami dan menjadi ibu. Bukan pekerjaan hina. Malah mulia. Namun tak semua perempuan ingin menghidupi kemuliaan yang seperti itu. Bukan karena merasa tak layak, namun karena paham bahwa ada hal mulia lain yang ia inginkan.

Baik kepada Stella, Ovink Soer maupun keluarga Abendanon, Kartini menyatakan penolakannya terhadap pernikahan. Dalam surat pertamanya kepada Stella ia menjelaskan bahwa agama yang dianutnya mengharuskan perempuan untuk menikah. Perempuan yang tak menikah bisa menimbulkan dosa besar. Sementara menurut adat, aib terbesar yang bisa diberikan kepada keluarga adalah perempuan yang tidak menikah.

Kartini memang mengagumi peradaban Eropa. Surat-suratnya terkesan membikin Eropa, khususnya Belanda, terkesan overrated. Menjadi ironi mengingat Indonesia (Hindia) waktu itu masih di bawah kolonialisme Belanda. Namun demikian, Kartini bukannya tak sadar dengan permainan politik Belanda yang dikenal dengan istilah politik etis.

Lewat suratnya kepada Stella tanggal 12 Januari 1900, Kartini secara gamblang mengungkapkan ketidaksenangan orang-orang Eropa atas kemajuan orang-orang Jawa. Orang Eropa, kata Kartini, dengan cara yang teramat sopan selalu bersikap untuk mengingatkan orang-orang pribumi bahwa mereka adalah orang jajahan.

““Saya orang Eropa, kamu orang Jawa” atau dengan kata lain “Saya memerintah, kamu saya perintah.” Kalau orang Jawa berubah menjadi orang-orang yang berpengetahuan, mereka tidak akan lagi mengiakan dan mengamini segala sesuatu yang dikatakan atau diperintahkan oleh atasannya,” seperti itulah cara Kartini menyindir politik etis. Kesadaran yang membikin saya menyetujui omongan Agnes Louise Symmers dalam kata pengantar kumpulan surat ini; bahwa Kartini tidak pernah berupaya untuk menciptakan sekumpulan pseudo-Europeans, tetapi orang-orang pribumi yang lebih baik.

Lantas, mengapa saya tak ingin menjadi seperti Kartini?

Cita-cita Kartini begitu luar biasa. Mendirikan sekolah untuk perempuan-perempuan pribumi. Bukan sekolah semenjana, yang membekali mereka dengan pendidikan ala kadarnya. Tapi sekolah yang bisa membantu mereka merdeka dari jerat feodal dan tradisi. Makanya, Kartini tak mau tanggung-tanggung. Sebagai guru dan pendiri sekolah, ia pun harus diperlengkapi dengan pengetahuan dan keahlian yang tak main-main. Kartini harus belajar di Belanda.

Yang didapat oleh Kartini perihal cita-citanya, tak cuma restu dari si bapak, tapi beasiswa untuk bersekolah di Belanda dari seorang anggota parlemen Belanda. Yang mendapat beasiswa bukan hanya Kartini, tapi juga Rukmini, adiknya. Lantas apa lagi yang kurang? Toh dalam suratnya Kartini juga pernah menjelaskan bahwa ia dan kedua adik perempuannya (salah satunya Rukmini) punya kecocokan yang sangat kuat. Walau ia tak menampik bahwa tetap ada pertengkaran-pertengkaran kecil di antara mereka. Pertengkaran yang digambarkan Kartini sebagai pertengkaran yang diikuti oleh perdamaian.

Namun ternyata, ada satu masa di mana Kartini melepas keinginannya untuk bersekolah di Belanda. Ia membatalkan keberangkatannya begitu beasiswa sudah ada di tangan. Entah apa yang membuatnya berubah haluan. Dugaan terkuat adalah kondisi kesehatan bapaknya yang tak lagi prima.

Toh, surat-suratnya menjelaskan bahwa ia memang menyayangi bapaknya. Bapak yang sewaktu kecil mencubit pipinya saat ia bertanya akan jadi apakah nanti waktu ia sudah dewasa. Bapak yang menunjukkan bagaimana kesetiakawanan itu -ingat cerita saat Kartini dan bapaknya menolong anak yang menjual rumput. Bapak yang pada akhirnya memberi restu perihal cita-citanya -bapak yang sama pula yang (barangkali) membuatnya meruntuhkan cita-citanya. Cita-cita yang sama. Cita-cita yang gila itu.

Berangkat atau tak berangkat ke Belanda, Kartini tetap mendirikan sekolah yang ia mimpi-mimpikan. Barangkali ia sadar bahwa mimpi yang dirawatnya dengan kegilaan tak terperi adalah mimpi yang indah bukan kepalang. Namun, meminjam pertanyaan seorang penulis, seberapa indah mimpi jika tetap mimpi? Pertanyaan yang dijawab Kartini dengan sekolah yang pada akhirnya memang didirikannya.

Namun ada yang lebih mengejutkan daripada keputusan Kartini untuk membatalkan keberangkatannya ke Belanda: pernikahan. Kartini menikah. Ia menikahi Bupati Rembang. Ia menghidupi poligami yang dulu amat dibencinya. Ah.

Di satu sisi, Kartini adalah jawaban bagi perempuan Indonesia. Penulis Belanda yang semasa kecilnya tinggal di Batavia, Louis Couperus, yang ikut menulis kata pengantar Letters of a Javanese Princess menggambarkan Kartini sebagai suara dari tanah Jawa yang terdengar sampai ke tanah Eropa. Namun di sisi lain, Kartini adalah melankolia dari perempuan Indonesia di zaman itu.

Saya tidak ingin menghakimi Kartini. Saya tak mengecap cita-citanya gagal, karena toh, cita-citanya atas pendidikan perempuan Indonesia benar-benar terwujud. Ia menjadi sejarah. Dan saya teramat yakin, tanpanya perempuan Indonesia tak akan bisa seperti sekarang.

Saya teringat apa yang ditulisnya kepada (lagi-lagi) Stella pada 17 Mei 1902. Kartini bicara seperti ini; “Jadi kamu lihat saja, terlepas dari cita-cita tinggi saya akan kemerdekaan, saya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh lingkungan asal, yang benar-benar membuat kaum perempuan terasing.”

Di tanggal ini ia memang belum memutuskan untuk membatalkan keberangkatannya ke Belanda. Namun kata-katanya ini semacam mengisyaratkan kesadarannya akan tembok-tembok yang tak bisa ia robohkan. Tembok-tembok yang sedikit banyak memengaruhi keputusannya untuk mengubur dalam-dalam keinginan untuk berangkat ke Belanda. Benteng-benteng yang mendesaknya untuk masuk pada pernikahan dan tunduk pada poligami. Tak lama memang, hanya satu tahun. Namun agaknya satu tahun ini adalah satu tahun dengan kesakitan yang berlarat-larat. Kesakitan yang menjadi tanda bahwa ada yang dilepas dalam sebuhul cita-citanya. Keputusan yang mengantar Kartini kepada kematian. Kematian yang denotatif. Kematian yang ragawi.

Kartini tadinya menentang takdir, namun kini ia tunduk kepada takdir. Kartini mati empat hari setelah melahirkan. Namun kawan, aku bukan Kartini. Aku mau hidup yang lama, hidup yang panjang. Aku mau hidup yang kekal, hidup tanpa kematian.

Sumber gambar: Media Indonesia.

Leave a comment